Suatu hari saya naik kereta ekonomi menuju kampus Universitas Indonesia di Depok. Saya dapat tempat di ruangan yang sebenarnya buat masinis, tapi bisa ditempatin karena bagian itu dijadikan sambungan gerbong. Di ruangan itu itu rada lapang, jadi kita masih bisa ngobrol. Ada ibu-ibu, anak muda juga ada. Berhenti di salah satu stasiun, berloncatanlah anak-anak kecil usia SD dan SMP ke atas gerbong kereta api. Salah satu penumpang di ruangan kita, yang kebetulan latah, bilang..”eh, anak kucing, anak kucing pada loncat”.

Awalnya saya ngga perhatiin anak-anak itu, biasa lah anak kecil pengennya keliatan jago; jago loncat. Saya juga ngga perhatiin latahnya si Ibu tadi. Setelah lama dipikirin, kok ada benernya juga ya kalau anak kecil tadi dibilang “anak kucing”. Kucing khan katanya punya 9 nyawa ya? Sama kali sama anak-anak yang loncat dan duduk di atas gerbong, ngerasa kaya anak kucing, yang punya banyak nyawa.

Mereka—anak kecil yang tukang loncat gerbong kereta api itu—memang masih anak-anak yang ngga tahu akibat dari perbuatannya. Atau, mungkin aja mereka tahu akibat dari perbuatannya (khan ada beritanya di koran kalau ada anak yang naik gerbong dan celaka), tapi tetap ngga mau menanggung akibatnya. Itu ciri anak kecil.

Menaikan gerbong kereta api adalah masalah mengambil keputusan, tetapi celaka atau tidak adalah akibat yang belum tentu bisa ditanggung oleh seorang anak kecil. Itu bedanya dengan orang dewasa.

Begitu juga dengan yang namanya dewasa. Dewasa itu salah satu cirinya adalah bisa mengambil keputusan dan berani bertanggung jawab terhadap akibat dari keputusannya itu.

Umur kamu sekarang berapa?  Tujuh belas? Delapan belas? Ngerasa udah dewasa belum? Pasti udah dong (minimal ngerasa aja dulu). Tapi saya yakin kamu udah dewasa, buktinya masih nerusin baca tulisan ini, iya nggak?

Ciri paling penting dari orang dewasa adalah bisa membedakan antara yang bener dengan yang salah, dan antara yang baik dengan yang buruk. Kalau benar-salah itu berhubungan dengan hukum, aturan baku; sedangkan baik-buruk berhubungan dengan penilaian orang lain atau norma.

Contohnya kalimat: “Kuda makan rumput,”  bener nggak? Bener! Karena sesuai dengan aturan baku bahasa Indonesia, subyeknya kuda,  predikatnya makan dan obyeknya rumput; terus kalimatnya baik nggak? Ya baik, karena kuda makan rumput itu biasa dan memang demikian adanya.

Kalau kalimatnya diubah: “Rumput makan kuda,”  nah ini bener nggak? Bener! Karena aturan subyek, predikat dan obyeknya ada; tapi kalimat ini tidak baik, karena rumput tidak pernah makan kuda (kecuali rumput monster yang bisa memakan kuda)

Gimana kalau dihubungkan dengan belajar? Misalnya kamu ngerjain soal ujian, nah pas kamu nulis jawaban, masalahnya berkisar di antara benar atau salah; ketika nilai ujian kita peroleh, maka nilai itu akan dibandingkan dengan standar yang dimiliki guru, dan keluarlah penilaian baik atau buruk, atau bahkan jeblok. Itulah bedanya benar-salah dengan baik-buruk.

Berhubungan dengan nilai itu, mungkin kamu sering kecewa dengan nilai yang kamu dapetin, udah berjuang mati-matian (berarti bohongan dong), eh tetep aja dapetnye mentok juga. Kenapa sih bisa kaya gitu? Wah, kalau kita mikirin kenapa bisa dapet nilai jelek, itu mah malahan nambahin pikiran kita aja.

Sekarang gimana kalau yang diubah adalah cara kita melihat nilai ujian. Biar enteng, kita anggap aja  bahwa nilai ulangan itu bukan menggambarkan kita, melainkan cara guru menilai kita? Nah kalau pandangannya kaya gini khan jadi enak, nggak perlu lagi uring-uringan mikirin kenapa bisa dapet jelek; cukuplah dengan introspeksi diri, dan … itu tadi, nilai itu bukan menggambarkan kondisi kita sebenernya, itu hanyalah menggambarkan bagaimana guru menilai kita.

Nah sekarang kita lanjutin yuk…

Kalau tadi bicara tentang dewasa karena bisa membedakan antara benar/salah dan baik/buruk; maka kedewasaan juga bisa diukur dari kecerdasan dan kebijaksanaan (katanya orang dewasa itu bijaksana lho)

Orang dewasa itu cerdas sekaligus bijaksana. Kebijaksanaan berbeda dengan kecerdasan.

(1)  Kecerdasan ditandai dengan pengetahuan yang banyak tentang sesuatu yang spesifik. Kecerdasan berhubungan dengan pengetahuan diri sendiri. Kecerdasan berhubungan dengan keberanian. Kecerdasan adalah punya kosa kata banyak tentang sesuatu.

(2)  Kebijaksanaan berarti kepandaian menggunakan akal budi (pengetahuan dan pengalaman). Kebijaksanaan berhubungan dengan pemahaman tentang pengetahuan orang lain. Kebijaksanaan ditandai dengan penghargaan terhadap kelebihan orang lain dan kekurangan diri sendiri. Kebijaksanaan berhubungan dengan pertimbangan–pertimbangan.

 

Kecerdasan (berhubungan dengan keberanian) dan kebijaksanaan (berhubungan dengan pertimbangan) – harusnya dikombinasikan, karena kehilangan salah satunya akan membuat kita tidak dewasa.

One thought on “Jadi Dewasa, Siapa Takut?

  1. wuih aku dah dewasa donk karena dah baca sampai selesai. tapi merasa belum dewasa. atau memang dak bisa dirasakan sendiri?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *