Ketika akan masuk SD di SD Pasir Eurih, usia saya sebenarnya belum cukup. Saat itu usia siswa minimal 7 tahun. Akan tetapi, keinginan saya untuk sekolah sangat besar. Untung saja, orang tua saya tidak tahu persis kapan saya lahir. Pokoknya sekitar bulan haji saja. Nah, supaya agak memenuhi syarat, maka ditetapkan tanggal lahir saya adalah 6 Agustus 1974. Sehingga, saat saya daftar di sekolah dasar, Juni 1980, usia saya mendekati 6 tahun. Masih terlalu muda memang.

Saya diharuskan melalui bebeberapa tes. Yang paling saya ingat adalah tes warna dan menyetuh kuping dengan posisi melintang tepat di kepala dan ujung jari menyentuh bagian atas telinga. Saya lolos di tes warna, karena memang saya tidak buta warna. Di tes yang kedua, menyentuh telingan dengan tangan melintang, sebenarnya saya tidak lolos, karena usia saya memang belum cukup untuk masuk SD. Saya ngakalin dengan memiringkan sedikit posisi tangan agak ke belakang, sehingga ujung jari bisa menyentuh telinga.

Dua orang anak di depan saya tidak lolos tes membedakan warna. Sepertinya keduanya buta warna atau memang mereka belum diajari tentang warna. Kegagalan mereka, paling tidak mengurangi saingan. Soalnya, saat itu siswa SD-nya sudah penuh. Tinggal sisa beberapa tempat lagi.

Akhirnya saya diterima masuk SD. Saat itu, SD Pasir Eurih I yang favorit, tapi sudah penuh, tidak menerima siswa baru lagi. Begitu juga dengan SD Pasir Eurih III. Di SD Pasir Eurih IV, sebenarnya sudah penuh juga. Karena hubungan yang sangat baik antara ayah saya dan Bapak Badri, kepala sekolahnya, maka akhirnya saya diterima juga dengan nomor induk siswa 328. Akan tetapi ada syaratnya:

Bagi saya, tahun pertama di SD Pasir Eurih IV adalah tahun percobaan, mengingat saya yang belum cukup umur untuk masuk sekolah. Dikhawatirkan saya tidak bisa mengikuti pelajaran. Sehingga, jika saya tidak naik kelas, tidak dihitung alias raportnya tetap bersih.

Jika siswa lain sudah masuk kelas hari Senin, maka saya masuk hari Rabu.

Karena kapasitas bangku (saat itu 24 orang) sudah penuh, maka saya diharuskan membeli bangku seharga Rp 3.000, dan berada di posisi paling belakang, satu barisan sendirian, tepat di pintu antara kelas satu dengan kelas dua.

Jadilah saya masuk pada hari Rabu, ketika teman-teman saya sudah mulai belajar hari Senin. Sementara yang lainnya duduk berdua, saya duduk sendiri. Bangku di kelas 1 di SD Pasir Eurih IV itu jadinya memiliki formasi 3 x 4 plus 1—saya yang berada di bangku paling belakang, tidak memilik baris, dan sendirian.

Pak Badri, Kepala Sekolah kami, sekaligus mengajar di kelas 1, sering memberi pertanyaan, siapa yang bisa menjawab, boleh pulang duluan. Ini biasanya bagian yang saya tunggu. Mungkin karena posisi saya di belakang, ada rasa terintimidasi juga, akhirnya saya selalu berusaha menjawab pertanyaan dari Pak Badri, dan berhasil. Begitu juga dengan Ibu Sri Sugiarti, guru cantik yang paling hobi memberikan berhadiah pulang duluan itu.

Al hasil, saya mendapat kesempatan untuk pulang duluan. Biasanya, pertanyaan yang saya lahap adalah Matematika. Karena mampu membuktikan saya bisa mengikuti pelajaran di kelas, maka perlahan saya maju ke depan. Mengenai bangku yang nyempil di belakang, akhirnya memang ditiadakan, karena ada salah satu siswa di kelas kami yang mengundurkan diri. Jadi lengkaplah 24 orang siswa kelas 1. Saya duduk di depan, bersama dengan kawan saya, masih saudara juga, namanya Wira.

Saya ingat, ada satu orang teman saya, Maryanah namanya, biasanya dia ngga pulang-pulang, karena tidak bisa menjawab pertanyaan. Saya pernah melihat, dia sampai terpaku di depan papan tulis, melihat angka-angka yang bak rumus-rumus tingkat tinggi, sementara di sampingnya, berdiri Ibu Sri Sugiarti yang memperhatikan dengan gemas. Jika di kelas kami Maryanah paling belakangan pulang karena tidak bisa menjawab, maka di kemudian hari, dia mencatat prestasi sebagai orang pertama yang menikah, usia SMP seingat saya.

Sekolah menjadi bagian yang menyenangkan dalam kehidupan masa kecil saya. Saya antusias untuk pergi ke sekolah, belajar dan tentu saja, membuktikan bahwa, saya yang memang terkecil (saat itu setinggi 120 cm) dan termuda; akan tetapi saya bukan yang terlemah. Saya membuktikan diri dengan belajar lebih banyak dan lebih kelas. Terutama dalam urusan hitung menghitung. Batu dan lidi menjadi senjata saya untuk memahami pelajaran Matematika.

Di akhir catur wulan, kerja keras saya dalam belajar memberikan hasil. Ketika diadakan pesta kenaikan kelas; saya dipanggil ke panggung, karena bisa meraih juara 1, dengan nilai rata-rata 7.2. Saya mendapat hadiah yang dibungkus dengan sampul coklat, khas sampul buku tulis. Isinya:

3 buku gambar

3 penggaris pelastik ukuran 20 cm

3 buah pensil belang-belang hitam merah.

Yang menjadi juara 2 Ujang Suardi (sudah almarhum), juara 3-nya teman sebangku saya, Wira. Tapi Wira tidak bisa naik panggung, karena pingsan dan muntah (mungkin ini yang namanya demam panggung). Yang saya ingat, ketika diberikan hadiah, saya mendapat ciuman di pipi dari Ibu Sri Sugiarti, guru paling cantik di SD Pasir Eurih IV.

Sampai kelas 6 saya selalu menjadi Juara 1. Ujang Suardi selalu menjadi juara 2 dan Wira, tidak naik kelas ketika kelas 2 ke kelas 3 dan keluar sekolah, jadi tukang angkut bawang merah di Pasar Bogor, membantu orang tuanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *