28

Feb 2009

Pendek tapi Pede

Ketika masuk SD, pas kelas 1, tinggi badan saya 120 cm. Pendek banget, dibanding dengan teman-teman saya yang lain. Pendeknya badan membuat saya mendapat keistimewaan untuk selalu ada di depan pada saat baris sebelum masuk kelas.

Ngga enaknya, kalau main, selalu tidak diajak. Anak bawang, katanya. Kalaupun ikut, dianggap bonus. Jadi, kalau main bola itu  11 lawan 11, maka saya bisa jadi bonus, sehingga salah satu tim jumlahnya jadi 12. Karena kecil, kalau dalam pertandingan, adanya saya itu dianggap tak ada.

Saya memiliki kakak yang juga di sekolah yang sama. Saat saya masuk kelas 1, kakak saya kelas 6. Kakak saya itu juara kelas terus dari kelas 1 sampai kelas 6. Ngga putus. Maka, saya pun ketiban beban ‘keturunan pinter’ itu. Padahal saya tak sepintar kakak saya.

Saya ingat  pesan dari kepala sekolah, Pak Badri namanya, bahwa kalau kamu mau pinter, ada pantangan makanannya… begitu saya tanya apa makanannya? Pak Badri menjawab,

“Jangan makan terasi dan minum kopi…”

Ohhh.. itu toh kuncinya. Pak Badri bilang, kopi dan terasi itu bikin blo’on. Jadi, terasi dan kopi itu bukan supaya pinter, tapi supaya ngga blo’on. Supaya pinter, Pak Badri menjawab,

“Ya, belajar dong….”

Saya belajar giat dan di samenan, itu pesta kenaikan kelas sekolah, plus perpisahan untuk kelas 6 yang lulus; akhir tahun, ketika dibagi raport, saya menjadi juara 1. Hmmmm..kayanya ini bukan saya pinter deh, mungkin karena temen-temen sekelas aja ngga lebih pinter (apa sama aja?)

Terus terang aja, prestasi itu bikin saya pede. Sejak itu, teman-teman saya ngga ngeliat saya dari ukuran tinggi badan lagi, walaupun baris di depan dan duduk di depan, tetap menjadi jatah saya.

Kehidupan kelas saya berlanjut. Saya menikmati betul setiap samenan akhir tahun, karena saya selalu juara 1.

Tentang tinggi badan, di akhir tahun ajaran, saya selalu ngukur tinggi badan:

1. awal Kelas 2 tinggi badan 121 cm

2. awal Kelas 3 tinggi badan 122 cm

3. awal Kelas 4 tinggi badan 123 cm

4. awal Kelas 5 tinggi badan 124 cm

Jika dihitung, rata-rata pertambahan tinggi badan saya 1 cm setiap tahun. Konsisten tapi tidak bagus.

Tentang urusan tinggi badan; di kelas 6, saya sempat melihat bundel otropedi, itu loh, cara meninggikan badan. Bundel ortopedi itu sebenarnya milik kakak saya; yang rupanya ingin tinggi juga. Saya pelajari betul bundel ortopedi itu, mempraktikannya sehari-hari.

Saya berusaha untuk meninggikan badan. Kalau pede sih udah dapet, karena prestasi sekolah saya cukup memuaskan. Juara bertahan sejak kelas satu. Urusan tinggi badan ini yang bikin ngga pede.

Kegigihan saya mempelajari bundel ortopedi pun membawa saya mengikuti seluruh petunjuknya. Akhirnya, ketika usai kelulusan, saya kembali mengukur tinggi badan. Hasilnya? di akhir kelas 6, tinggi badan saya 126 cm. Lumayan, nambah 2 cm, setidaknya berbeda dengan pertumbuhan tahunan saya yangh 1 cm per tahun. Meningkat 100 persen, dari 1 cm setahun menjadi 2 cm setahun.

Tapi, pendeknya saya ternyata tak mencegah saya untuk bercita-cita tinggi. Dengan NEM 38,44, saya mendaftar ke sekolah SMP 1 Bogor, sekolah terbaik di Bogor. NEM saya tertinggi di seluruh SD; dan cuman saya aja yang daftar ke sekolah di kota.

Alhamdulillah saya keterima di SMP 1 Bogor. Nem saya yang tertinggi di seluruh SD itu ternyata NEM ranking 248 dari 254 siswa di SMP 1 Bogor. Perjalanan pernuh perjuangan menuju puncak pun kembali dimulai.

One thought on “Pendek tapi Pede

Leave a Reply to faiz Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *