Entah kenapa, saya jadi ingat dengan nama teman-teman saya waktu kecil.

 

Saya tinggal di kampung Ciapus, Desa Tamansari, letaknya di kaki Gunung Salak. Kebanyakan dari orang tua kami adalah petani dan memiliki hewan peliharaan, seperti kambing, kerbau atau kelinci. Ayah saya juga memiliki kelinci dan kambing. Tugas kami, para anak yang masih kecil ini adalah mencari makanan untuk hewan ternak. Biasanya yang harus kami cari adalah rumput-rumputan dan tanaman jamolok, yang menjadi makanan favorit kelinci. Jamolok itu tanaman yang batangnya seperti kangkung, berongga dan daunnya cukup lebar, seperti yang sering disajikan sebagai lalapan oleh pedagang pecel lele. Jamolok ini juga jadi lalapan kami jika membawa makanan dari rumah. Itu artinya makanan kami ada yang sama dengan  makanan kelinci.

 

Biasanya kami berangkat mencari rumput dengan membawa karung dan arit, ada juga yang membawa sundung (alat pengangkut rumput yang sudah dipotong, terbuat dari bambu. Bentuknya seperti kacamata tapi  tidak membentuk lingkaran, melainkan segitiga sama kaki terbalik). Kami menyusuri sungai Ciapus; di bibir sungai, biasanya banyak rumput. Sambi ngarit (mencari rumput),  salah satu dari kami ada yang membawa alat pancing, namanya jeujeur. Lumayan, bisa dapat ikan jeler. Ikannya kecil, belang-belang dan bentuknya seperti ikan gabus. Disela menyabit rumut, kami akan membuat tungku dadakan, dan memanggang ikan-ikan kecil itu untuk digado, disantap tanpa nasi. Lumayan enak, apalagi kalau perut lapar.

 

Sekali berangkat, kalau lengkap, satu rombongan terdiri dari 7 orang. Di lokasi, kami kemudian menyebar dan akan berkumpul kembali di bagian  sungai yang menyerupai kolam renang, dalamnya sekitar 1 meter. Tempat itu biasanya kami gunakan untuk mandi.

 

Rombongan kami ini memiliki nama yang unik dan lucu-lucu. Ada Deden Gudel, Diding Jenong, Endang Jarum, Cacang Uwong, Odang Soang, Dayat Papanting dan Pepen Gocap.

 

Nama Deden Gudel muncul ketika, seperti biasa, usai ngarit, ini pekerjaan menyabit rumput; kami pulang. Kali ini kepulangan kami bersamaan dengan kerbau Mang Andi. Kerbaunya ada 3, salah satunya masih kecil. Dalam bahasa Sunda, anak kerbau itu namanya gudel. Nah, Mang Andi membolehkan kami menaiki kerbau dewasa, kerbau kecil tidak boleh. Mang Andi yang ada keperluan, memerintahkan kami mengantarkan ketiga kerbau itu ke kandang di rumahnya.

 

Kami janjian, untuk naik kerbau dewasa bergantian. Ya, diatur 10 menit sekali lah. Karena perjalan kerbau ke kandang itu bisa mencapai 30 menit. Rupanya, Deden, teman kami, nakal. Dia menaiki anak kerbau yang jalannya agak tercecer di belakang. Anak kerbau itu keberatan, jalannya sempoyongan. Ketika melintasi sawah di pinggir kali, Deden dan anak kerbau itu pun terjatuh ke sawah. Kami tidak berusaha menolong, hanya tertawa saja. Deden dan kerbau itu pun berusaha keluar dari sawah. Tubuh keduanya kotor semua.

 

Sejak itulah, Deden, teman kami dikenal dengan nama Deden Gudel. Deden yang menaiki gudel, anak kerbau.

 

Nama Diding Jenong ini bukan karena jidatnya jenong. Diding, kakaknya Deden adalah pemain calung, sama dengan saya. Kami tergabung dalam grup calung Mekar Sari. Personelnya ada 5 orang; yaitu Solihin sebagai pemegang calung ke-1 (dalang), Deden (Gudel) sebagai pemegang calung ke-2 (wakil dalang), Odang sebagai pemegang calung ke-3, Diding sebagai pemegang calung ke-4 dan saya pemegang calung ke-5 (kosrek). Dari 5 jenis calung itu, Diding calung keempat yang dikenal dengan istilah calung go-ong;  calung yang terdiri dari 2 bambu panjang, dan dimainkannya sama seperti gong. Tugas Diding hanya memukul bergantian kedua bambo itu. Bunyinya,

 

“Nong…nong…nong…”

 

Diding bisa dibilang menjadi bintang panggungnya. Dialah yang menjadi bahan kelucuan grup calung kami. Bunyi calungnya yang “nong..nong..nong” itulah yang membuat Diding mendapat julukan Diding Jenong.

 

Nama Odang Soang muncul karena proporsi leher dengan tubuhnya tak seimbang. Lehernya panjang (bukan jenjang) dan kalau berjalan, selalu bergerak ke depan dan belakang. Karena mirip dengan soang (bahasa Sunda untuk angsa), maka Odang dikenal dengan nama Odang Soang.

 

Nama Cacang Uwong muncul karena Cacang, teman kami ini paling atraktif di pengajian sore kami. Ustadznya bernama Ustadz Sanusi. Kitab yang dipakai, safinah dan jurumiyah, terjemahannya masih menggunakan bahasa Jawa. Cacang ini paling intens mendengarkan ketika Ustadz Sanusi menterjemahkan kitab safinah maupun jurumiyah.

 

Setiap Ustadz Sanusi menyebut kata uwong (dalam bahasa Jawa berarti orang), entah kenapa, Cacang selalu ketawa. Ketawanya lucu pula, khas. Karena selalu ketawa begitu Pak Ustadz menyebut kata uwong itulah, Cacang kemudian dikenal dengan mana Cacang Uwong.

 

Endang Jarum adalah salah satu pemain belakang dari tim sepakbola kami. Namanya PS Gorita (Gabungan Orang di Tamansari, singkatannya maksa). Tamansari adalah nama desa kami. Suatu kali, ketika ada kompetisi sepakbola tingkat anak-anak, manajer kami; namanya Dadang yang juga kakak dari Deden dan Diding (nama orang Sunda memang banyak yang breng breng gedombreng, alias pengulangan), memberikan bonus, bagi siapa saja yang bisa mencetak gol, akan diberikan uang. Satu gol harganya 50 rupiah.

 

Endang ini semangat betul dengan bonus yang dijanjikan. Walaupun pemain belakang, Endang memiliki tendangan geledek. Lapangan yang kecil memungkinkan Endang bisa menendang dari jarak jauh. Di akhir pertandingan, kami menang dengan skor 3-1. Ketiga gol kami dicetak Endang. Bonus pun diberikan, Rp 150. Apa yang dilakukan Endang dengan uang itu? Dia membeli rokok Djarum (dulu yang ngetop rokok Djarum apa ya? Lupa. Atau malah Jarum Cokelat? Sekarang sih rokok Djarum sudah banyak jenisnya, ada Djarum Black, Djarum Super dan Djarum Slimz). Rokok Djarum itu diberikan kepada ayahnya. Karena itulah, namanya kemudian dikenal dengan nama Endang Jarum.

 

Nama Dayat Papanting, muncul dari kebiasaannya jika latihan sepakbola, selalu membuka baju, padahal tubuhnya kurus, sementara kepalanya besar. Mirip dengan ulat papanting, sejenis ulat yang badannya kecil tapi kepalanya mengkilat dan besar banget.  Postur tak seimbang itulah yang membuatnya mendapat julukan Dayat Papanting.

 

Nama Pepen Gocap muncul dari peristiwa yang cukup unik. Di hari minggu, desa kami yang masih banyak kebun dan hutan, utamanya di bumi perkemahan Sukamantri, biasanya jadi tempat pencarian serangga atau hewan melata oleh siswa-siswa sekolah (SMP atau SMA), baik dari Bogor maupun Jakarta. 

 

Suatu hari, Dina Mariana, masih SMA saat itu adalah artis top banget. Dia dan  rombongannya datang ke desa kami. Tentu saja, desa kami heboh. Saat itu baru ada TVRI, dan artis itu menjadi idola di TVRI.

 

Para siswa kemudian menuju ke bagian dalam dari desa kami. Nah, biasanya ini jadi peluang juga untuk kami mencari uang. Biasanya ‘orang kota’ itu takut mencari binatang-binatang melata, seperti kalajengking, kaki seribu, dan lainnya. Kami biasanya menangkap duluan dan menjual kepada para siswa dari kota tersebut.

 

Pepen, teman saya, yang bernama asli Supendi, paling jago kalau menangkap kalajengking. Dengan modal rumput yang ujungnya diikat, Pepen ‘memancing’ kalajengking yang biasanya bersembunyi di lubang ‘benteng’, dinding berbatu di pinggir kebun. Entah bagaimana caranya, atau memang punya bakat seperti Panji si penakluk ular di TVOne, Pepen ini bisa dijuluki sebagai si penakluk kalejengking.

 

Dina Mariana lewat di depan kami, kemudian dengan beraninya dihampiri oleh Pepen. Kammi pun ikut mendekat. Ingin melihat langsung artis yang selama ini hanya bisa disaksikan di TVRI.

 

Ketika menawarkan kalajengking kepada Dina Mariana, terjadi tawar menawar,

 

“Mbak…mau beli kalajengking nggak?” Pepen menawarkan

“Berapa harga kalajengkingnya…?” tanya Dina Mariana

“Mbak nawarnya berapa?” kata Pepen

“Oke deh… gope aja ya?” Dina Mariana mengajukan penawaran

 

Pepen terdiam sejenak. Dia melihat kalajengking yang berhasil ditangkapnya. Melihat kea rah kami yang masih terbengong-bengong melihat artis.

 

“Ngga usah gope deh, gocap aja…!” kata Pepen polos

 

Huahahahahahaha…

 

Kami yang menyaksikan proses tawar menawar itu tidak bisa menawan tawa. Pepen tidak tahu kalau gocap itu Rp. 50, gope itu Rp. 500.

 

Untung saja, Dina Mariana baik hati. Dia tetap membayar kalajengking itu satu ekornya Rp 500. Sejak itulah, Pepen dikenal dengan nama Pepen Gocap.

 

Itulah teman-teman masa kecil saya. Nama julukan itu masih melekat pada mereka hingga sekarang. Saya masih tinggal di desa yang sama, menjadi satu-satunya yang melanjutkan kuliah. Teman-teman saya sudah berbagai macam kehidupannya. Deden Gudel, Diding Jenong dan Cacang Uwong bekerja di sebuah perusahaan furniture di Citeureup; Endang Jarum masih nganggur dan belum menikah; Odang Soang bekerja di sebuah perusahaan jasa di Jakarta; Pepen Gocap yang bakat dagangnya lumayan itu kini membantu kakaknya yang jadi bandar jengkol di pasar.

 

Saya? Hmmm….jadi penulis, makanya bisa menuliskan cerita masa kecil ini, yang menjadi bagian dari kenangan yang beberapa anak-anak kota harus membayar cukup mahal untuk memperoleh pengalaman yang kami dapatkan di masa kecil seperti ini.

 

Tulisan ini terinspirasi setelah saya membaca Maryamah Karpov-nya Andrea Hirata, terutama bagian yang menceritakan nama-nama teman Ikal yang lucu-lucu, mulai dari Muharram Buku Gambar, Berahim Harap Tenang, Kamsir Si Buta dari Gua Hantu, Mahmud Corong, Mustahaq Davidson, Munawwir Berita Buruk dan Mahmuddin Pelupa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *