Kisah ini terjadi beberapa tahun yang lalu. Masih tentang kereta api, saat itu penumpangnya belum sepadat sekarang.
Saya bersama dengan seorang teman, pulang dari stasiun Cikini. Naik kereta terakhir, jam 21.00. Saya naik gerbong tengah. Bangku kosong banget, hanya ada beberapa penumpang. Kereta berjalan terus, penumpang pun makin berkurang.
Sampai di Pondok Cina, di gerbong kami itu tinggal 3 orang; saya dan teman serta seorang Bapak yang duduk di pojok. Pakaiannya rapi.
Sesaat kereta berjalan, dari ujung gerbong muncul 2 orang pengamen. Salah satunya wanita buta, satunya lagi wanita, bisa melihat. Wanita yang buta bagian menyanyi, menggendong ‘radio salon’ di depan; wanita satu lagi pegang kecrekan dan pelastik kemasan permen untuk meminta sumbangan.
Karena gerbongnya kosong, sebenarnya wanita yang pegang kecrekan itu ngga mau ngamen, kalaupun ngamen dan minta uang ke penumpang yang tinggal 3 orang, paling dapetnya berapa sih? Itu pikirannya. Tapi dia rupanya iseng, membiarkan wanita buta itu nyanyi, karena memang dia tidak melihat jumlah penumpangnya.
Menyanyilah wanita yang buta itu diiringi kecrekan temannya yang menahan geli.
Saya dan teman saya juga melihat mereka, senyum-senyum. Tega juga temannya itu membiarkan wanita yang buta itu nyanyi. Pemandangan yang aneh, melihat satu orang nyanyi dengan sepenuh hati, sementara temannya nahan ketawa, sepenuh hati juga.
Satu lagu selesai, kemudian seperti biasa, tugas wanita kecrekan meminta uang. Dia menyodorkan kantong kemasan permen, saya memasukkan uang, ngga besar, emang ngga punya uang besar. Kemudian, mereka menuju Bapak tadi yang duduk di pojok. Saya, terus terang aja mengikuti gerakan mereka.
Bapak tadi mengambil uang dari kantongnya dan mengeluarkan selembar uang, yang—dari bentuk dan warnanya, saya tahu persis nilainya…Rp 50.000!
Kedua pengamen itu mengucapkan terima kasih dan bergerak menuju gerbong berikutnya.
Hmmmm…Rezeki emang ngga ketuker. Jika mereka ngamen di satu gerbong yang padat penumpang pun, mereka belum tentu dapat uang sebesar itu. Eh, di gerbong yang isinya hanya 3 orang ini, mereka mendapat uang lumayan besar.
Saya jadi mikir, di gerbong yang sepi itu, saya bersama seorang teman, ada pengamen buta dan temannya, kemudian ada seorang Bapak di pojok yang memberikan uang Rp 50.000,- Jangan-jangan…?
Ngga mau mikir jauh-jauh ah…
Tapi klo boleh jujur, kadang suka ada pikiran klo nemuin pengamen di angkot yg penuh penumpang “ah, gak perlu ngasih ato kasih receh aja, krn sudah terwakili oleh banyak orang yg kasih”, tapi rasa iba en ga tega muncul klo dalam angkot cuma ada 1-2 penumpang, hingga nominal yg dikasih kadang gak jadi pertimbangan. Begitu juga (mungkin lho) dng si Bapak itu. Bedanya dia bisa ngasih gede, klo aku.. mikir2 dulu klo kasih gocap mah (ha..ha..ha..)
Btw Ini gue doang apa hal yg manusiawi ya?
Itulah rezeki. Gak bisa ditebak.