20 Mei 1998.
Di tangan saya, tergenggam gulungan koran. Itu adalah sandi bagi para mahasiswa yang akan bergabung dalam demo besar-besaran di lapangan Monas. Sandi kami adalah koran dan tergenggam dan jika bertemu dengan kawan yang jadi simpul komando, harus menyebut nama “Elang Mulia Perkasa”; seorang kawan yang gugur dan kematiannya masih misteri, bahkan setelah 11 tahun kini. Saya menaiki kereta, dengan niat berhenti di stasiun Gambir.

Di kereta, saya membaca koran Republika. Tertulis disitu, pesan dari Amin Rais, sang Lokomotif Reformasi. Aksi besar-besaran tak jadi dilaksanakan, karena Monas sudah dikepung oleh tentara. Ada panser yang sudah diarahkan ke lapangan monas dan banyak kawat berduri. Di bagian bawah pesan itu tertulis (dalam huruf Arab).. Amin Rais, akhukum fillah….Amin Rais, saudaramu di jalan Allah…

Tak jadi turun di Gambir. Saya melanjutkan perjalanan hingga Juanda, untuk kemudian pulang kembali ke Bogor.

Bersiap berangkat ke gedung wakil rakyat, yang semalam saya juga menginap disana.

Pulang ke rumah, kemudian kembali menuju Gedung DPR, bersama beberapa teman. Disana, sudah banyak mahasiswa yang hadir. Dengan teriakan reformasi, kemerdekaan. Bergetar hati, merinding bulu halus di tangan. Menjadi bagian (walaupun keciiiiiiiiiiil) dari sebuah proses reformasi.

Amin Rais keluar dan salah satu ucapan yang masih saya ingat adalah…
“Soeharto itu seperti dollar, ngga mau turun-turun…”

Pidato yang kemudian menjadi tonggak sejarah reformasi.

Itu 11 tahun yang lalu.

Kini, orang yang saat itu berkeliling dengan Amin Rais di Monas, telah menjadi sekjen sebuah partai; ketua senat yang dulu banyak menginspirasi telah menjadi anggota legislatif, walaupun sempat tersenggol kasus korupsi. Beberapa teman lain juga sudah menjadi bagian dari partai politik. Yang konsisten dengan ke-Indonesia-an tanpa berpolitik praktis, saya tak tahu..

Saya?

Hmmm.. menjadi penulis dan di hadapan saya, ada sebuah buku yang sedang dalam proses penerbitan, dari tokoh yang mengawal reformasi dan juga sahabat dari Amin Rais. Buku ini berjudul Membangun Peradaban Indonesia; Renungan Baharudin Jusuf Habibie: Setelah 10 Dasawarsa Kebangkitan Nasional, 10 Windu Sumpah Pemuda dan 10 Tahun Reformasi.

Reformasi yang dulu diperjuangkan, seolah menemui jalan buntu, karena para pelakunya berjalan secara linier, bahwa reformasi diperjuangkan dengan menduduki kursi. Padahal, banyak cara untuk mengisi dan mewujudkannya.

Ibarat ruang tamu, reformasi tak melulu terdiri dari kursi, masih banyak furniture lain yang bisa menjadi bagian darinya.

Sungguh, mengingat 11 tahun lalu dan kini, menjadi bertanya, apakah yang diperjuangkan dengan sepenuh hati saat itu sudah tercapai ataukah dicederai oleh para pelakuknya sendiri?

Wallahu’alam…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *