Karena ini S1 saya yang kedua, setelah S1 saya yang pertama tak tuntas, otomatis, saya membiayai sendiri kuliah. Memilih kelas sore, tak hanya supaya bisa cari kerja, tapi sekalian sekelas dengan teman-teman yang se-umuran, atau malah lebih tua. Kalau milih kelas pagi, teman sekelasnya berondong semua; yang kuliah emang niat kuliah; kebanyakan masih dapat beasiswa dari orang tuanya.
Rupanya, memilih kelas sore di Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi, yang disebut kelas pekerja, adalah pilihan tepat, walaupun saat itu saya belum dapat kerjaan. Tahun 1996 masuk kuliah, tahun 1997 nyambi jadi Ketua Himpunan, dan tahun 1999 nyambi jadi Ketua Senat. Lumayan, bisa sekalian bisnis fotocopian soal-soal ujian dan sekalian response, ngebahas soal. Selain itu, pernah juga kerja jadi waitress di restoran fast food; lumayan, kantong tipis, muka tambah tebel. Gajinya kecil, Rp 5.600 per hari, ngga cukup buat ongkos.
Makanya, di tahun 1999 itulah, saya mulai cari kerjaan yang rada enak. Ngga ganggu kuliah, tapi juga bisa akses ke dunia luar. Maklum, udah mulai lah kirim lamaran kemana-mana.
Emang, kalau kita niat baik, begitu kepikiran, begitu juga kesempatan datang. Beneran. Begitu pengen akses ke dunia kerja dan dibayar, eh..di depan kampus dibuka warnet baru. Yang punya temen saya juga, yang jaga temen saya juga. AKhirnya, saya apply lah untuk jaga warnet disana. Akhirnya saya diterima kerja untuk jaga warnet disana. Bayarannya Rp 30.000 per bulan alias Rp 1.000 per hari. Lumayan. Bukan fee-nya yang saya kejar, tapi bisa internetannya itu loh. Pantesan aja diterima, orang murah banget begitu bayarannya.
Di tahun itu, yang punya email belum banyak. Termasuk saya. Beneran belum punya email. Makanya, begitu jaga, yang pertama saya lakukan adalah belajar cara bikin email. Pertama saya buat adalah babansarbana@yahoo.com; eh lupa passwordnya, jadinya ngga bisa diakses lagi. Atas rekomendasi teman-teman, akhirnya saya buat yang kedua, namanya baban@justicemail.com. Email itu bertahan lama, walaupun saya tak tahu apakah www.justicemail.com masih ada atau tidak. Email itulah yang saya pakai untuk korespondensi mengirimkan CV ke berbagai lowongan.
Saya searching pake www.yahoo.com; dengan keyword ‘lowongan kerja’; dan ketemunya JobDB, dll. Saya kirim apply lamaran; dan Alhamdulillah tak pernah ada balasan, alias ditolak terus. Maklum aja, masih mahasiswa.
Ngga bosen kirim lamaran, teman saya mengenalkan chatting, menggunakan MIRC.
“asl pls”
Itu biasanya awalan untuk chatting.
Rupanya, untuk chatting, saat itu, perlu pake email yahoo (itu kata temen saya lagi); makanya saya
kemudian membuat email baru, namanya banban_sar@yahoo.com yang sampai sekarang masih saya pake. Passwordnya adalah nama seseorang (perempuan) yang saat itu jauh sekali, entah dimana, tapi yang jelas, berbekas di hati saya. Dia sampai sekarang tidak tahu, kalau namanya jadi password email saya.
Maka, dengan semangat, saya mencari tempat chatting, sekalian melatih kemampuan bahasa Inggris yang masih sedikit-sedikit. Ketemulah saya dengan seseseorang dari Malaysia, id chatnya, nuashikin@yahoo.com, umurnya baru 14 tahun, perempuan. Itu teman chatting saya yang pertama kali. Ngobrol pake bahasa Inggris campur bahasa Indonesia dan Melayu; pilihan yang tidak salah, mengingat bahasa Inggris saya pun belepotan.
Oh ya, chat dan kirim CV lamaran itu saya lakukan, tentu saja tidak mengganggu pekerjaan utama sebagai penjaga warnet yang harus membantu mahasiswa lain yang datang ke warnet. Justru, dengan keharusan untuk membantu itulah, saya jadi harus tahu juga lebih dulu.
Chatting beres, sekarang saya yang memang suka baca, akhirnya cari info terhadap buku yang lagi happening saat itu, yaitu Quantum Learning karya Bobbbi dePorter, yang saya kira seorang pria. Saya mencari alamat email dari websitenya www.quantumlearning.com. Saya pun mengirim email ke Bobbi dePorter, mengaku sebagai penggemar berat dari bukunya. Baik hati sekali dia, sehingga email saya yang berbahasa Inggris belepotan dibalas, oleh Mr. Josh dePorter, yang ternyata suaminya. Oh..jadi Bobbi dePorter itu perempuan toh…
Senangnya saya bisa berkorespondensi dengan penulis idola, di Amerika sono. Tak terbayang bisa berinteraksi langsung dengan Bobbi dePorter, yang bukunya begitu menggugah. Kebetulan sekali, saya di Bogor, sering mengadakan pelatihan yang menjadikan buku Quantum Learning sebagai rujukan. Saya download segala hal yang terkait dengan Quantum Learning, mulai dari modul training hingga SuperCampnya. Buku Quantum Learning ini diterbitkan oleh Mizan.
Kabar menggembirakan tak berhenti sampai disitu. Ternyata Bobbi dePorter, suaminya dan seorang trainer dari Quantum Learning akan datang ke Indonesia. Wah..senangnya. Tapi bagaimana supaya bisa ketemu ya?
Saya pun menanyakan event organizer yang mengelola kedatangan Bobbi dePorter. Ternyata, email bahasa Inggris saya diforward ke Mizan, dan langsung nyambung dengan Pak Haidar Bagir, Direktur Mizan saat itu. Saya segera dikontak untuk bertemu, sekaligus ditanya apa hubungan saya dengan Bobbi dePorter. Saya katakan, saya hanya seorang penggemar yang menjadikan buku Quantum Learning sebagai rujukan saja.
Akhirnya, dengan kebaikan hati, Pak Haidar Bagir menawarkan saya bekerja di Mizan Learning Center yang memang diposisikan sebagai event organizer untuk kedatangan Bobbi dePorter.
Saya segera keluar dari pekerjaan jaga warnet dan ngantor di Mizan Learning Center. Tugas utamanya adalah menyiapkan segala hal untk kegiatan seminar Quantum Learning dan workshop Quantum Business di Bidakara.
Hari besar itu tiba. Bobbi dePorter datang. Saya ingin sekali ngobrol lama, tapi Bobbi dePorter dikerubungi oleh peserta. Saya segera mengambil posisi, menawarkan diri untuk menulis nama peserta di sertifikat. Kebetulan, saya punya keahlian menulis khat, menggunakan tinta cair. Ada 200 sertifikat totalnya. Lumayan pegel.
Hasilnya, 2 jam saya mendampingi, sambil ngobrol-ngobrol, di ruangan khusus bersama sang penulis idola, Bobbi dePorter. Bukan mendampingi tepatnya, tapi menuliskan sertifikat. Kesempatan itu saya gunakan dengan sangat, untuk bertanya cerita dibalik buku yang dahsyat itu. Bobbi dePorter, tentu saja dengan senang hati berbagi.
Usai seminar, saya diberikan 3 buku; yaitu Quantum Learning, Quantum Teaching dan Quantum Business. Senangnya, karena buku itu ditandatangani oleh Bobbi dePorter sendiri dan bisa berfoto berdua dengannya.
Semuanya diawali dengan email sederhana dari baban@justicemail.com kepada Bobbi dePorter di Amerika Serikat sana; email dari seorang penggemar buku dan sangat menceritakan isi buku yang dikaguminya itu ke berbagai kalangan melalui pelatihan.
Terima kasih pemilik warnet, terima kasih Mizan dan terima kasih Bobbi dePorter, yang mau membalas email saya dan tentu saja, telah menginspirasi saya untuk menjadikan profesi penulis sebagai pilihan hidup.
Lagi blog walking, salam kenal
salam kenal,
mantap sekali pengalamannya,
sukses selalu.
salam.
Pengalaman yang menyenangkan. Baca juga di : http://jayteroris.blogdetik.com/2009/07/22/my-first-online-experience/
kegagalan tidak membuat kita berhenti untuk meraih suskes. saya pernah mengalami hal yang sama. dengan ngos-ngosan mengejar segala kesempatan, tapi menghasilkan yang manis
hebat pengalamannya..=)