Satu lagi film Indonesia untuk konsumsi seluruh keluarga. Film yang mengalur secara sederhana, mencampuradukkan emosi, mulai dari sedih hingga gembira.
Film ini, sederhananya, tentang Bayu yang memiliki mimpi untuk menjadi pemain sepakbola nasional, akan tetapi terhambat oleh ‘aturan’ sang kakek yang perfeksionis dan ‘trauma’ dengan ayah Bayu yang juga pemain sepakbola, tapi berakhir dengan kematian tragis sebagai sopir; dan lebih tragis lagi, miskin!
Bergerak dari upaya menghindari ‘ketahuan’ sang kakek, Bayu pun ‘berbohong putih’ kali demi kali; alias berkali-kali. Mulai dari menabuh bola dan mengaku sedang latihan menabuh drum, hingga terpaksa mengakui lukisan Zahra sebagai lukisannya, yang akhirnya menguras tabungan pensiun si Kakek.
Bayu memiliki Heri, maniak sepakbola yang duduk di kursi roda. Semangatnya melebihi semangat Bayu. Heri yang mendorong Bayu untuk ikut seleksi SSB, setelah tak sengaja, usai menonton final kompetisi tingat remaja, menendang bola dengan hebat, dan dilihat oleh seorang pelatih SSB.
Bayu butuh Heri untuk muncul, untuk bersemangat. Bayu butuh Pak Johan Lestaluhu, sang pelatih, untuk muncul. Bayu pun meminta dengan sangat kepada ibunya, untuk tak bercerita kepada sang Kakek, ketika akhirnya ketahuan hobi bermain sepakbola. Bayu pun butuh Zahra, untuk bisa berlatih di area kuburan yang akhirnya membawanya masuk dalam seleksi SSB dan akhirnya masuk ke seleksi nasional dan memakai kaos dengan nomor sama dengan idolanya, Bambang Pamnungkas.
Film ini sarat dengan pesan, yang disampaikan dengan sederhana. Sayangnya, film ini terlalu padat dengan kejadian-kejadian yang kurang digali dalam. Sehingga, penonton mencari-cari sendiri, asal muasal kenapa si Kakek berkeras melarang Bayu bermain sepakbola, atau ketika Bayu kemudian bimbang, karena si Kakek, sakit, ada orang tua yang memaksakan anaknya untuk masuk seleksi, walaupun mencuri umur. Begitu pula, ketika Bayu akhirnya terpilih, didahului oleh temannya, yang memang diposisikan ‘bad boy’; tak terpilih, karena mendapat kartu kuning.
Sangat hitam putih. tapi, justru inilah kesederhanaan pesan dari film Garuda di Dadaku.
Yang jelas, penonton yang kebanyakan anak-anak, larut dalam film. Bahkan mereka bertepuk tangan ketika Bayu terpilih dalam seleksi. Saya sendiri, merinding beberapa kali, karena membayangkan bagaimana seorang anak kecil harus berjuang mewujudkan mimpi, di tengah para ‘orang besar’ yang ‘sok tahu’ tentang bakatnya dan berusaha mengarahkan masa depannya.
Merinding, utamanya ketika Bayu ditanya oleh coach Johan..
“Kamu mau apa lagi?”
“Saya mau mengenakan kaos tim nasional, dengan Garuda di sini” begitu kira-kira ucapannya, sambil tangan Bayu memegang kaos lusuh di bagian dada kirinya.
Ucapan, yang jarang bisa diucapkan oleh anak-anak, karena tak banyak anak-anak punya cita-cita yang konkrit, jelas dan terukur. Semakin beranjak dewasa, kebanyakan dari mereka memiliki cita-cita yang semakin abstrak dan tak fokus.
Film Garuda di Dadaku, memberikan pesan sederhana, bahwa fokuslah dalam bermimpi dan sederhanakan masalah di sekeliling, sehingga mimpi itu bisa terwujud.
Seperti ayah Zahra katakan:
“Jangan lari dari masalah, karena akan menimbulkan masalah baru”
Hmmm..film yang istimewa, tentang pemain sepakbola. Suatu saat mungkin perlu dibuat film tentang pengurus PSSI-nya, karena dalam dunia nyata saja banyak drama. Siapa tahu ada anak yang bermimpi jadi pengurus PSSI? karena mengurusi sepakbola, tak cukup hanya dengan menjadi pemain hebat, justru pengurus juga yang sering menghambat, sehingga pemain hebat menjadi layu sebelum berkembang.
Tak sabar menunggu film King. Semoga film yang juga hebat!
Itulah hebatnya Indonesia, pengurus lebih terkenal ketimbang pemainnya. Nah kalau pemain luar tuh justru lebih hebat dari pengurusnya… Mari kita dukung PSSI agar lebih memperhatikan bibit baru di daerah, dan lebih selektiv pada pemain berbakat. Salam kenal…
setuju… siapa tahu diantara anak-anak yang nonton film ini, ada yang jadi pemain bola profesional…
wah, tankz referensinya. saya mao nonton jg ni film.
aku nonton sore ini, karena hari-hari kemarin gagal melulu!
nonton ah..
males ngebaca ulasannya, takut ada spoiler
sepertinya menarik…
Lilis Jadi pengen nontonnya, entah kapan berkesempatan.
kang, saya baru baca buku akang nih, “hati tak bersudut” cuma belum selesai sih….kerenz bukunya kang, inspiratif, akanga isi blognya bener2 kisah pribadi ya..? dan dibuat sederhana? kira2 gimana ya caranya supaya pembacanya banyak n bisa dapet adsense
kebanyakan isi blog memang kisah pribadi; paling tidak, kisah orang-orang yang saya punya hubungan lah; banyak yang sekedar sharing, karena saya rasa ada manfaat, makanya ditulis saja. Hmmm. adsense? saya pernah coba, ternyata harus web yang major alias bukan blog gratisan dan minimum sudah online 6 bulan. Itu baru standar awal. Kalau untuk mengundang supaya banyak yang baca, tergantung pada isi blognya; butuh konsistensi dan fokus juga. enaknya, kalau di blogdetik, ada galeri-nya, sesekali bisa jadi blog pilihan. Coba aja terus, fokus dengan tulisan tentang tema tertentu. Kalau kiat-kiat yang teknis, seperti SEO, dll, saya kurang tahu. Selamat mencoba ya. Pokoknya tulis, fokus, nanti pasti ada yang blogwalking
nonton gk yah??
dah banyak bgt yg meriview film ini
top deh
Pretty cool post. I just came across your blog and wanted to say
that I’ve really liked reading your blog posts. Any way
I’ll be subscribing to your blog and I hope you write again soon!
ok deh kang ,tararenkkyu euy
Loved your latest post, by the way.