Dulu, di desa kami, ada 4 orang yang terdeteksi menderita penyakit saraf, atau disebut ‘tak normal’, lebih ekstrim banyak yang menyebutnya ‘orang gila’. Ujang, Ugan, Atu, Nini Kenot .

Atu ini kulitnya hitam, rambutnya keriting. Entah siapa nama aslinya, tapi orang memanggilnya Atu. Rambut keriting gondrong dengan janggut, cambang dan kumis yang lebat, membuat anak-anak takut melihat Atu. Setiap dia lewat, hilir mudik, anak-anak akan mengintip dari balik jendela rumah. Atu ini juga dari mulutnya sering meler air ludah. Makanya, Atu dijuluki Atu Ngelay. Ngelay itu artinya beler, ludah yang meleler di ujung bibir.

Nini Kenot adalah yang paling senior diantara keempat orang ini. Namanya saja udah pake Nini, yang artinya nenek. Usianya hampir 60 tahun. Nini Kenot ini dulunya orang kaya, dan menghuni rumah yang ditinggalkan suaminya. Tak punya anak kandung, Nini Kenot memiliki anak angkat yang sangat telaten merawatnya. Di kampung, ada lagu khusus untuk menyambut kedatangannya…

“Nini nin make cutbrai ka jalan (nenek-nenek pakai celana cutbrai ke jalan)
Dicarekan ku akina ngalawan (dimarahin suaminya, ngelawan)
Pais tutut pais keong (pepes tutut, pepes keong)
Mobil butut ngagaleong…(mobil jelek, terseok-seok)”

Ujang adalah yang paling normal diantara keempat orang ini. Kerjaannya hanya jalan-jalan, senyum-senyum sendiri. Standar lah. Karena senyum itu ada rukunnya, minimal berdua…nah Ujang tak memenuhi syarat jumlah 2 orang ini. Dia sering senyum-senyum sendiri. Biasanya dia akan berhenti di depan SD, yang ketika istirahat, dia akan menemui kerumunan anak-anak dan mulai berceramah (dalam versinya), atau dalam versi anak-anak yang didatangi, ngoceh ngga jelas.

Ugan mungkin yang paling ekstrim. Ugan ini termakan dengan tayangan televisi favoritnya, yaitu The Six Million Dollar Man yang dibintangi Lee Major, tentang pria yang memiliki kekuatan bionic. Biasanya, film itu disebut The Six, atau dibaca Desik. Ugan berkhayal menjadi Lee Major yang menjadi The Six Million Dollar Man, sehingga kalau berjalan, tak pernah berjalan normal, melainkan berlari dalam gerakan slow motion…. Persis seperti Desik.

Biasanya, untuk mengiringi Ugan, yang kemudian dijuluki Ugan Desik, anak-anak yang menyaksikan, mengiringi gerakan slow motion Ugan Desik dengan musik mulut…

“treng…teng..teng…teng…teng..teng..teng….
Treng…teng..teng..teng…teng…teng…teng…”

Layaknya music yang selalu mengiringi gerakan slow motion…

Dan Ugan Desik pun memperlebar langkah larinya, sehingga gerakan slow motionnya semakin meyakinkan. Demikian juga anak-anak yang mengiringinya.

Ugan Desik ini menjadi legenda hidup di kalangan anak-anak. Gerakan lari slow motionnya mengilhami anak-anak untuk meyakini bahwa siapau pun bisa menjadi apa saja, sesuai keinginannya. Kemudian muncullah permainan Ugan Desik. Permainan ini dilakukan oleh minimal 5 orang. Secara bergantian, salah seorang akan menjadi obyek permainan, yang lainnya mengelilingi. Obyek Ugan Desik kemudian akan menyampaikan keinginannya. Setelah hidungnya disumpal dengan sirih, dia mengambil posisi bersujud, dengan kedua tangan mengepal dan ibu jari berada di atas, menekan biji mata bagian atas.

Kemudian, teman-teman lainnya akan mengeliling sebanyak 7 kali dan melangkahi sebanyak 7 kali. Ketika obyek Ugan Desik bangun, maka dia bisa menjadi seperti apa yang dibayangkan, minimal menurut dirinya sendiri. Apa yang dibayangkannya mungkin berbeda dengan apa yang dibayangkan orang lain.

Suatu kali, Ugan Desik akan melakukan pencapain tertinggi dalam karirnya sebagai imitasi The Six Million Dollar Man. Dia berencana untuk terjun dari pangkal Curug Luhur, sebuah air terjun cukup indah yang terletak di dekat pegunungan.

Ugan Desik meloncat dari ketinggian 30 meter dan byurrrrrrrrrrrr…. Masuk ke dalam air. Dia lakukan itu siang hari, sehingga orang bisa melihatnya. Saat itu belum ada MURI, jadi tak tercatat.

Ugan Desik masuk ke dasar air terjun, dan tak kembali. Para jago selam pun segera dikerahkan untuk mencari Ugan Desik. Hingga hari kedua, Ugan Desik tak ditemukan. Maka didatangkanlah seorang paranormal asal Gunung Bunder yang memang memiliki keahlian magis untuk mencari orang yang hilang. Sudah banyak orang hilang ditemukannya, bahkan barang-barang yang dirampok pun, bisa ditemukan kembali; kadang ditemukan barangnya masih utuh, kadang yang ditemukan orang yang merampok dengan barang yang sudah dijual.

Sugandi, nama dukun itu, datang ke Curug Luhur. Dia segera duduk persis sejajar dengan air terjun. Meletakkan baskom alumunium warna hijau di hadapannya dan diisinya baskom tersebut dengan air dari Curug Luhur. Dukun Suganda kemudian mengepalkan tangan kanannya, jempolnya diacungkan, bergerak ke kiri dan ke kanan, sambil mulutnya komat-kamit.

Masih dengan tangan kanan terkepal dengan jempol yang mengacung, Dukun Sugandi kemudian mencelupkan jempolnya ke air dalam baskom, kemudian matanya memicing, mengarah ke kuku jempol kanannya. Dukun Sugandi semakin cepat komat-kamitnya.

Anak-anak yang ingin melihat juga apa yang dilihat oleh Dukun Sugandi, berusaha berdesakkan melihat kuku jempol Dukun Sugandi. Jelas saja tak kelihatan. Pertama, karena kuku jempolnya kecil, mungkin sama dengan ukuran layar televisi 1 inchi. Kedua, Dukun Sugandi, katanya, melihat tidak dengan kasat mata, tapi dengan mata bathinnya (konon…).

“Ugan ini disembunyikan oleh dua buaya kuning. Adanya di sela-sela batu, tepat di bawah air terjun” Begitu kata Dukun Sugandi.

Dukun Sugandi kemudian memberikan rekomendasi kepada TPU alias Tim Pencari Ugan, mengatakan posisi Ugan Desik tepatnya ada dimana. Setelah diberi tahu, pasukan penyelam kemudian segera mencari kembali.

Hanya butuh 1 jam, Ugan Desik pun ditemukan, di sela-sela batu yang berada tepat di bawah air terjun. Kondisi tubuhnya sangat mengenaskan, kembung dan membiru.

Sejak saat itu, lumayan lama, Curug Luhur tak dikunjungi orang. Beredar kisah macam-macam seputar legenda Ugan Desik yang terjun dari ketinggian 30 meter, di usia 30 tahun dan ditemukan 3 hari kemudian. Beberapa orang menganggapnya sebagai wadal atau tumbal. Dan, biasanya tumbal itu muncul dari kematian yang tidak wajar.

Mereka—Atu, Nini Kenot, Ujang dan Ugan Desik—adalah orang-orang yang dianggap tidak normal di desa kami. Parahnya orang-orang yang ‘tak normal’ itu seringkali disikapi dan diperlakukan dengan ‘tak normal’ pula oleh lingkungan sekitarnya. Menyikapi orang tak normal dengan sikap tak normal itu berarti sama-sama tak normalnya.

Konon, ‘orang gila’ atau orang yang tak normal menurut ‘orang normal’ sudah punya tempat di akhirat kelak. Tapi, kini lumayan sulit juga membedakan orang normal dengan tak normal, karena tak normal kadang-kadang bukan hanya penyakit syaraf, tapi bisa juga penyakit hati.

Semoga mereka semua diterima di sisi-Nya dengan normal.

One thought on “4 ‘Orang Tak Normal’ di Kampung Saya…

  1. Menarik! Sebetulnya banyak orang yang terlihat normal tapi ternyata tak normal. Jangan-jangan kita yang dengan normalnya menganggap orang lain tak normal justru sama-sama tak normal dan kita menganggap itu normal belaka ? (enggak penting ya?) Cuma pengen kenal aja. Tulisannya asyik, bermakna, menarik dan enak dibaca.

    makasih kunjungannya…. hmm. normal ngga normal itu memang urusan perspektif dan kadang mana yang mayoritas dan minoritas aja….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *