Rumah orang tua saya terletak di kaki Gunung Salak. Persis di depan rumah ada sebuah rumah yang sangat besar, yang sering disebut Gedong Belenong, karena di bagian atas bangunan utamanya terdapat kubah yang besar sekali. Luas keseluruhan tanahnya mencapai 1 hektar.

Rumah itu kini dihuni oleh seorang wanita. Dulu, ia memiliki suami orang Philipina campur Amerika dan dikaruniai anak tunggal, laki-laki. Yang saya ingat, ketika SMA, beberapa kali saya ‘nebeng’ dengan anak laki-lakinya ketika pergi ke sekolah; pertama karena satu arah (saya di SMA 1 Bogor, dia di SMA Regina Pacis), yang kedua, karena kalau dia pergi sekolah dan tidak diantar supir, biasanya dia nyarter angkot dari Ciapus sampai ke RP (waktu itu bayarnya Rp 5.000). Lumayan khan, hemat waktu dan hemat ongkos, naik angkot cuman berdua.

Setelah suaminya meninggal, kondisi ekonomi keluarga ini menurun. Hingga suatu saat, semua benda milik suaminya ditawarkan kepada yang mau. Termasuk baju, sepatu, dan lainnya. Akan tetapi karena orang bule, ukuran pakaiannya termasuk besar, jadi ngga banyak  cocok buat orang kampung.

Beberapa tahun lalu, kondisi perekonomiannya memprihatinkan.  Dulu, ketika anaknya belum menikah, biasanya sesekali datang untuk menjenguk. Akan tetapi, setelah menikah, jarang sekali anaknya datang. Pernah suatu ketika, Gedong Belenong itu diputus listrik dan telponnya selama 3 hari, karena belum membayar tagihan. Al hasil, Ibu Gedong (sebutan untuk Ibu yang tinggal di Gedong Belenong itu) diterangi cahaya lilin.

Ibu saya kebetulan membuka warung, jadi biasa dihutangin, walaupun untuk makanan yang sekedarnya seperti kopi instan dan beras. Ayah saya yang memelihara kambing, biasanya sekalian memotong rumput di rumahnya. Suatu hari, ayah saya yang juga berkebun, membawa talas mentah untuk Ibu Gedong. Sore hari, talas itu dikembalikan, karena Ibu Gedong ngga tau cara masaknya. Mungkin, selama ini dia tinggal perintah saja. Jadilah ibu saya yang memasakkan talas tersebut. Sebagian dikukus, sebagian digoreng.

Semakin lama, hubungan antara Ibu Gedong dan anak tunggalnya semakin baik. Sebulan sekali, anak dan menantunya datang menjenguk, sekaligus memberikan ‘nafkah’. Kini Ibu Gedong masih tinggal sendirian, tapi lumayan terjamin ekonominya. Gedong Belenong pun sesekali disewakan untuk tempat shooting beberapa sinteron FTV.

Ibu Gedong masih sering wara wiri, menyapa orang yang lewat dan main ke rumah orang tua saya. Saya senang kondisinya membaik. Karena miris rasanya melihat rumah yang demikian luas, diisi seorang diri dan bahkan dengan anaknya yang seorang saja, Ibu Gedong harus berjuang untuk merebut hatinya.