Ini cerita teman yang pulang Haji dan mendapat hikmah yang sangat banyak…

Lautan manusia berbaju putih bergema dengan dzikir dan puji-pujian kepada Allah. Saya berada di tengah lautan manusia, dari berbagai ras, berbagai negara, semuanya berbaju putih dan jelas, bahwa kami semua adalah saudara sesama muslim. Kami semua mengelilingi poros bumi, bangunan istimewa karena menjadi Rumah Allah yang dibangun beratus abad lalu oleh Nabi Ibrahim yang mulia.

Thawaf di tengah lautan manusia seperti itu kadang membuat nyali saya ciut. Tapi, demi ‘cita-cita’ bisa mencium hajarul aswad yang bagi sebagian orang adalah prestasi, maka saya pun perlahan merangsek ke depan, menuju dinding Ka’bah. Ketika melihat ke kanan kiri, banyak juga yang merangsek dan tak mempedulikan orang-orang di dekatnya, sehingga kadang sikut pun bermain. Tak jauh beda dengan orang yang berebut untuk mendapatkan antrian. Mulut mereka mengucap dizkir dan memuji Allah, tapi tindakannya kadang tak sesuai dengan ucapan di mulut.

Dengan semangat tinggi, saya pun perlahan sampai di dinding Ka’bah. Saya pikir, saya harus makin dekat ke dinding Ka’bah dan merapat, kemudian bergerak perlahan, memutar mengikuti arus thawaf untuk sampai ke Hajarul Aswad dan menciumnya….
“cuuuuuuuuuuup…” itulah ciuman yang jadi ciuman terindah sepanjang hidup saya; kalau bisa sampai kesana…

Akhirnya saya sampai di dinding Ka’bah. Dada saya menempel tepat ke dindingnya. Saya merayap, persis seperti spiderman. Bergeser perlahan sambil mulut tetap berdzikir. Sudut mata saya tetap melihat posisi Hajarul Aswad. Di depan saya ada 2 orang, suami isteri yang juga sedang berjuang untuk mencium Hajarul Aswad.

Perjuangan itu mendekati puncaknya, ketika teman saya di depan sudah bisa mencium Hajarul Aswad. Pertama isterinya, kemudian suaminya. Ketika suaminya berhasil mencium Hajarul Aswad, isterinya rupanya tertarik jilbabnya dari belakang, sehingga tubuhnya sempoyongan, hampir jatuh. Suaminya sendiri sudah ada di depan isterinya, dan tidak menyadari kalau isterinya sedang dalam kesulitan seperti itu.

Melintas di kepala saya pilihan yang cukup sulit. Apakah melanjutkan target mencium Hajar Aswad atau ‘menyelamatkan’ isteri teman saya yang sudah pasti, jika dibiarkan, akan jatuh ke belakang dan kalau sudah jatuh, bukan hanya akan tertimpa tangga, tapi terinjak-injak oleh para jama’ah yang makin mendekat ke Hajar Aswad, makin banyak juga yang sikut sana-sikut sini.

Sepersekian detik itulah waktu yang tersedia untuk saya mengambil keputusan. Dan, saya pun mundur dari dinding Ka’bah, membantu isteri teman saya yang sempoyongan dan menutupkan jilbabnya kembali yang hampir lepas. Alhamdulillah dia selamat. Suaminya kemudian memegang isterinya dan mereka berdua kembali melakukan thawaf.

Saat itu, saya teringat kembali dengan ucapan ustadz pimpinan rombongan kami,
“Menolong sesama muslim itu wajib, mencium hajarul aswad itu sunnah. Dahulukan yang wajib daripada yang sunnah..”
Kata-kata itu mengiang kembali di telinga saya, kali ini dengan contoh nyata dari kejadian yang saya alami beberapa detik sebelumnya.

Setelah itu, saya thawaf dengan suasana hati yang lebih tenang. Tak ada lagi upaya keras untuk mencium Hajar Aswad. Tak ada lagi strategi menjadi spiderman, merayap di dinding Ka’bah. Saya hanya tersenyum saja melihat beberapa jama’ah yang saling sikut menuju ‘cita-cita’nya mencium Hajar Aswad. Walau tak bisa mencium Hajar Aswad, tapi Allah telah memberikan hikmah luar biasa, dan itu mahal.

One thought on “Spiderman dan Hajar Aswad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *