Siang, jam 11.30 saya masuk ke bis jurusan Bogor-Kalideres. Ada acara seminar, tapi harus ketemuan di Senayan City, jam 15.00. Masuk bis, masih 5 orang, saya duduk di kursi kedua, sendirian. Segera membuka koran yang tadi dibeli, 3 sekaligus, Bola, Cek & Recek plus Media Indonesia. Kenapa beli 3 bacaan? karena biasanya bis Bogor-Kalideres ngetemnya pasti lama.
Satu per satu penumpang naik. Saya melihat jam, 12.00. Belum penuh juga.
Jam 12.30; sudah 1 jam saya duduk di bis; penumpang mulai memenuhi setengah kapasitas bis. Bis belum jalan juga. Mulai ada penumpang yang mengeluh. Sudah tak terhitung berapa pengemis, pengamen, tukang jualan yang hilir mudik di bis. Belum berangkat juga.
Biasanya, ngetem satu jam, langsung jalan, karena bis berikutnya udah mulai giliran. Ini nggak. Saya coba toleransi, siapa tahu sebentar lagi berangkat.
Jam 13.00, penumpang sudah lebih dari 3/4 kapasitas bis. Mulai banyak yang komplain, tapi kondektur sama supirnya ngga ada di dalam bis, jadi komplainnya seperti suara berdengung lebah saja, tak ada pihak yang seharusnya mendengarkan; supir dan kondekturnya duduk-duduk di luar.
Saya juga mulai ‘gerah perasaan’. Begitu kondekturnya naik, langsung saya nanya (ternyata juga ada beberapa penumpang lain yang nanya serempak)
“Pak… berangkat jam berapa nih?”
“Nunggu penuh…” jawab pak kondektur itu. Tak ada ekspresi bersalah. Mukanya datar saja.
Ada 2 penumpang yang kemudian turun, rupanya dia memilih untuk naik bis jurusan lain. Penumpang lainnya, mulai saling bicara dengan teman di sebelahnya. Saling berbicara, tapi tak didengarkan oleh pihak yang seharusnya mengambil keputusan. Ngedumel namanya.
Saya masih mencoba mentoleransi, sampai jam 13.30; dengan hitungan sampai Senayan City, jam 15.00, semoga.
Penumpang, yang datang juga tak terukur, bisa banyak sekaligus, atau malah tidak ada. Kapasitas bis sudah tinggal 5 orang lagi. Bis belum jalan juga. Kondektur masuk bis lagi. Penumpang bertanya lagi.
“Pak.. saya ada perlu nih, cepet-cepet; bisnya jadi berangkat nggak?”
Bukan lagi nanyain “bisnya berangkat jam berapa?”, tapi “bisnya jadi berangkat nggak?”…
Kondektur tak menjawab, dia hanya menghitung jumlah kursi yang kosong. Wajahnya tak ada ekspresi empatik, bersalah atau apalah namanya. Atau memang itulah tugas dia?
Dua orang penumpang turun lagi. Saya melihat jam; sudah 13.35. Segera saya menoleh ke belakang, dan disana ada kondektur satu lagi yang sedang menghitung kursi kosong. Saya yang duduk di bangku kedua dari depan, langsung nanya si bapak kondektur di belakang…
“Pak.. ini berangkat, yang bener jam berapa?” nada diatur supaya tak batal puasa, padahal dalam hati sudah dongkol banget.
Tidak ada jawaban. Mungkin sudah merasa tidak enak.
Rupanya, yang lain juga ikutan nanya. Bertambah lagi penumpang yang turun.
Penumpang di depan saya, langsung mengajak untuk turun dari bis.
“Kita naik taksi aja yuk, patungan…” katanya
“Oke.. boleh juga…” jawab saya.
Maka, 5 orang pun turun bersamaan, diikuti pandangan dari kondektur, yang sekali lagi tanpa ekspresi.
Kami berlima, langsung mencari taksi. Satu orang menghampiri supir taksi yang baru saja keluar tol, kemudian memanggil kami.
“Ini nih, sekalian pulang ke Jakarta… ayo..” katanya..
Kami berlima naik taksi. Ongkosnya borongan, Rp 125.000, jadi patungan Rp 25.000 per orang.
Ternyata, tujuan kami pun agak berdekatan; ke Gedung Telkom, Gedung Manggala, lanjut ke Cengkareng, saya turun di Gedung MPR, satu lagi yang agak jauh, ke Gambir.
Di taksi itulah, kami jadi saling kenal. Satu orang di depan, adalah pemilik ruko pakaian anak-anak, makanya jago nawar ongkos taksi; satu pebisnis juga, yang tahun 2010 katanya mau jadi calon Bupati di salah satu wilayah di Papua, satu lagi gadis muda yang sibuk nelpon mamanya, ngabarin kalau dia terlambat datang, satu lagi seorang dosen yang baru datang dari Jogja, ngajar di Fakultas Ilmu Budaya – UGM.
Ngobrollah kami di taksi, tukar informasilah, tukar kartu nama, tukar pengalaman. Jadi bahan obrolan yang sangat menyenangkan.
Setelah saling kenal, barulah saya tahu, bukan saya saja yang dikejar waktu, tapi hampir semua juga dikerja waktu; ada yang harus ngejar flight berikutnya di bandara, ada yang meeting dengan klien. Mereka semua berusaha bersabar, dan hasilnya seperti ini.
Saya yakin, supir bis yang ngetemnya lama itu mungkin tak peduli seberapa pentingnya waktu yang harus kami kejar; bisa jadi yang ada di benak mereka adalah setoran dari penumpang yang penuh. Padahal, setahu saya, untuk ngetem, juga ada durasinya. Ngga sampe lebih dari 2 jam seperti itu.
Memang beda, bis yang berangkat berdasar penuhnya penumpang, dengan bis yang berdasarkan jadwal (seperti bis Bogor-Lebak Bulus).
Hmmmm… saya hanya berusaha keras mencerna, sekali lagi, supir bis itu mungkin tak terlalu peduli dengan betapa buru-buru atau ada agenda apa dari penumpangnya, yang penting bisnya penuh. Ini bikin penumpang tak nyaman. Dan tentu saja, konsekuensi ketidaknyamanan itu ditunjukkan dengan sikap berbagai macam, dari ngedumel sampai turun dan ganti kendaraan.
Jadi kepikiran, kalau diibaratkan dalam dunia politik, mungkin banyak pemimpin kita juga yang sibuk dengan apa yang membuat mereka nyaman, ketimbang berpikir apa yang membuat rakyatnya nyaman; sehingga ngedumel, protes itu jadi tak penting lagi..toh, akan ada penumpang lain yang naik, toh akan ada penumpang lain yang pasrah.
Wallahu’alam…yang jelas, saya mengambil keputusan untuk turun dan naik taksi ke Jakarta secara patungan, karena sudah merasa tak nyaman; walaupun sampai di Senayan City, tetap terlambat dan ternyata keterlambatan saya juga membuat orang-orang yang sudah meeting disana, tidak nyaman juga.
Saya tak bisa menyalahkan pak supir yang rajin bekerja. Saya hanya minta maaf saja. Segera buka laptop dan langsung melanjutkan meeting, walaupun dengan perasaan tak nyaman karena membuat orang lain tak nyaman.