Ribut-ribut pemilu sepertinya tak akan berhenti sampai disini saja. Kekisruhan sistematis yang berakibat fatal, menjadi catatan dengan tinta merah dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Seperti tak belajar kepada sejarah. Bahwa tak sedikit rakyat berkorban dengan harta, nyawa dan apa pun yang dimilikinya untuk membuat negara ini sampai ke posisi seperti saat ini. Memang belum sempurna, akan tetapi semakin tak sempurna, ketika ada segelintir elite yang menghitung rakyatnya saja sudah tak bisa, bagaimana mungkin melayani dan memenuhi kebutuhan mereka.
Sejarah selalu tercipta, karena waktu bergerak linear ke depan. Apa yang terjadi di masa lalu, adalah sejarah. Sayangnya, pemilu kali ini yang seharusnya bisa menjadi sejarah, malah ‘dijarah’ oleh para pejabat yang tak kompeten, akan tetapi menduduki jabatan yang strategis. Pemilu yang seharusnya menjadi pintu masuk untuk menyeleksi pejabat yang lebih kredibel, ‘dijarah’ dan akhirnya menghasilkan wakil rakyat yang tentu saja bisa dipertanyakan kemudian hari.
Lihat saja, kisruh DPT belum selesai, yang artinya hasil pemilu belum jelas ujungnya, semua sudah sibuk merancang koalisi. Quick Qount yang mengunggulkan Partai Dekomrat, kini digoyang dengan perhitungan manual, yang ‘seolah-olah’ memberi angin pada PDIP untuk leading.
Rakyat sepertinya dinilai hanya sebagai angka. Seolah tak punya pikiran, tak cerdas. Semua tampilan para elite partai politik, makin memuakan, seperti kata seorang sahabat saya, yang kini jadi pengamat politik kondang, Bima Arya, “kita aja yang senang politik mulai jenuh…”, mengatakan bahwa rakyat bisa apolitik dengan kondisi saat ini.
Sejarah yang dijarah ini, sekali lagi menjadikan rakyat sebagai korban. Tak dihargai eksistensinya, hanya dihitung sebagai angka, itu pun tak bisa akurat jumlahnya.
“Jika sebuah jabatan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggullah kehancurannya”