Pagi ini ketemu ama temen-temen yang pada Mei 1998 sama-sama demo ke MPR. Nostalgia tentang gimana mencekamnya suasana saat itu. Yang saya ingat adalah, ketika menuju Gambir, saya harus membawa koran dan ketika ada mahasiswa UI nanya, saya harus menyebut nama Elang Mulia Perkasa, itu salah satu korban Tragedi Trisakti. Rencana untuk menguasai Monas, ngga jadi, karena paginya, di Koran Republika, Amien Rais menulis surat terbuka untuk membatalkan aksi saat itu.
Banyak nostalgia yang saling diceritakan oleh 10 orang yang hadir saat itu. Sambil minum-minum kopi, kami ketawa-ketawa, membayangkan kenekatan dan semangat. Kami pun merundingkan tentang kondisi bangsa saat ini. Sedih, karena mahasiswa sekarang tidak lagi bisa bergerak bersama.
Pertemuan masa lalu itu pun berakhir dengan sedikit semangat yang tertinggal untuk tetap berkontribusi bagi kemajuan bangsa, melalui apa pun… Kami bubar dan pulang ke rumah masing-masing.
Saya menuju rumah di Ciapus. Sampai tepat ketika adzan Maghrib berkumandang. Sampai ke dapur, saya melihat pembantu saya sedang berjongkok. Saya nanya:
“Lagi ngapain?”
“Lagi masak air pak” katanya
“Kok masak airnya di kompor?” tanya saya, heran.
“Gas elpiji-nya, susah belinya Pak.. gak ada…” kata pembantu saya polos…
Jadi, hari itu, kami menggunakan kompor untuk memasak segala keperluan, karena gas elpiji sulit di dapat. Saya terhenyak. Antara pagi dan siang ini seperti berjalan menggunakan mesin waktu, tapi lamban.
Pagi tadi, saya bersama teman-teman yang turut memperjuangkan reformasi, masih berkomitmen berbicara tentang bangsa. Pulang, saya menemukan fakta, untuk memperoleh gas elpiji 3 kg saja, sulitnya minta ampun. Jadi, tahun 1998 menuju 2008 itu berapa tahun ya? Butuh berapa lama lagi supaya reformasi bisa berbuah?
hmmm hitungan pastinya sieh 10 tahun mas..
soal berapa lama lagi, ya tergantung berapa banyak yang pro dan kontra, gak termasuk yang nurut-nurut aja lhoo.. 😆
seperti kereta senja yang berangkat pagi.. keliatannya aneh….
10 tahun reformasi, ternyata kehidupan kita sekarang tidak jadi lebih baik. Mengapa? Seperti pernah Bung Fahmi (pentolan KAMMI) katakan…”reformasi yang diusung mahasiswa saat itu tidak menyodorkan perubahan ideologi dan menyiapkan ideologi alternatif. Mengapa dari ORLA ke ORBA lebih sukses? karena disitu ada revolusi not only reformasi. Revolusi mengubah “paradigma negara dari demokrasi-sosialisme” menjadi “berparadigma demokrasi-kapitalisme”. Tapi ORBA ke ORRE hanya menambahkan saja, yaitu demokrasi-kapitalisme+liberalisme. Walhasil…seperti sekarang jadinya. Coba kalau betul2 terjadi perubahan paradigma….Sosialisme pernah di coba RI…hasilnya rupiah tak berharga…. akibatnya rakyat ngantri beras+minyak dan muncul tritura….Kapitalisme dalam bentuk otoriter atau liberalisme seperti sekarang pernah dirasakan….hasilnya rupiah terpuruk…akibatnya rakyat ngantri gas dan berebut jatah raskin…kantor pos selalu penuh ribuan orang ngantri BLT……So, SUDAH SAATNYA RI MENENTUKAN PILIHAN PADA SYARIAT…..SYARIAT & KHILAFAH SOLUSI YANG HARUS DILIRIK….termasuk oleh PKS juga he…he…he…
Waduh… pendapat sebagus ini seharusnya dimiliki oleh banyak aktivitis pergerakan lain ya.. gracias…gracias… syukron….