Ini kali kedua saya mengunjungi Amerika Serikat. Dahulu, 2010 saya mengunjungi negeri Paman Sam sebagai hadiah kemenangan dalam kontes Golden Tiket to USA sekaligus menapaktilasi sejarah hidup Barack Obama dan berbuah menjadi sebuah buku berjudul “Tapak Tilas Barak Obama”.

Sebenarnya tak ada dalam benak saya untuk kembali ke Amerika Serikat, walaupun jika melihat visa USA yang masih 3 tahun lagi masa belakunya, semoga saja saya mendapat kesempatan untuk kembali mengunjungi USA. Pucuk dicinta ulam pun tiba; doa disampaikan, keberuntungan pun tiba. Saya mendapat kesempatan pergi ke USA, tepatnya ke kota Los Angeles, dalam rangka mengikuti Congres of Indonesian Diaspora (CID) atau Kongres Diaspora Indonesia, tanggal 6-8 Juli 2012 yang dilaksanakan di Los Angeles, California.

Saya berangkat ke Los Angeles sebagai salah satu delegasi dari organisasi kepemudaan yang saya ikuti. Oh ya, mungkin pembaca ada yang baru tahu tentang ‘diaspora’; diaspora itu dalam bahasa umumnya adalah perantau. Congres of Indonesian Diaspora (CID) ini mempertemukan lebih dari 2000 perantau pemegang passport Indonesia atau memiliki garis keterunan Indonesia dari berbagai kalangan yang tersebar di lebih dari 40 negara di seluruh dunia. Sebuah momen luar biasa, menandai peneguhan komitmen Indonesia untuk menjadi pemain penting di dunia internasional. Salah satu diaspora Indonesia yang terkenal di Amerika Serikat, pastinya Maya Soetoro-Ng, adiknya Barack Obama, Presiden Amerika Serikat saat ini.

Ada dua agenda penting yang saya jalani selama di Los Angeles, yang utama adalah mengikuti Kongres Diaspora Indonesia yang memungkinkan saya memiliki alasan luar biasa untuk mencintai Indonesia, karena bertemu dengan banyak sekali orang Indonesia yang kini tersebar di luar negeri dan memiliki satu kecintaan yang sama kepada Negara Republik Indonesia. Para Diaspora Indonesia ini kini menjadi ilmuwan, artis, professional, pengusaha dan aneka peran yang membanggakan dan seharusnya menjadi kekuatan luar biasa untuk membangun Indonesia hingga memiliki peran penting dalam memposisikan Indonesia supaya memiliki posisi penting dalam percaturan dunia.

Terkait Diaspora Indonesia ini, akan saya tuliskan beberapa hal tentang orang-orang Indonesia yang saya temui selama di Los Angeles, dari kalangan profesi, mulai artis hingga security masjid; dari Cinta Laura yang studi di Columbia University of New York sampai cerita tentang Muhammad Joban yang menjadi pendakwah dari penjara ke penjara di California, dari anak SD yang berprestasi internasional hingga para pensiunan berkewarganegaraan Amerika Serikat, yang kangen kembali ke Indonesia untuk mengabdi kepada bangsa, tapi terbentur oleh kebijakan pemerintah yang tak mengijinkan adanya kewarganegaraan ganda dan kebijakan imigrasi lainnya. Padahal mereka sangat mencintai Indonesia dan berkeingingan menghabiskan masa tuanya yang masih produktif di negeri yang mereka cintai, Indonesia.

Agenda kedua adalah menjelajah Los Angeles, sebisanya, semampunya, karena waktu yang sedikit dan luasnya Los Angeles. Jelajah Los Angeles ini akan saya beri tema Lost in Angeles, ‘tersesat’ di Lost Angeles, yang belakangan, ternyata bukan hanya sekedar judul, akan tetapi berubah menjadi kenyataan. Selama di Los Angeles ini saya menjelajah beberapa lokasi yang menjadi ciri khas kota Los Angeles yang mendunia, seperti Hollywood, Beverly Hills, Santa Monica Beach, Malibu Beach (karena film Baywatch), UCLA (University of California Los Angeles), Universal Studio Hollywood. Tempat-tempat di Los Angeles menjadi terkenal karena beberapa menjadi setting cerita dan latar belakang lokasi dalam film-film yang mendunia. Oleh karena itu, saya pun sempat mengunjungi Rodeo Drive, Santa Monica Prominade, The Groove dan beberapa lokasi lainnya.

Los Angeles juga adalah kota museum, karena lebih dari 300 museum berada di Los Angeles, dan beberapa menjadi lokasi kunjungan utama bagi para turis local maupun manca negara. Beberapa museum yang saya kunjungi adalah: Grammy Museum, Japan American Museum, African American Museum, Natural History Museum of Los Angeles, California Science Center, Ripley’s Believe It or Not, Museum of Guiness World Record, Pacific Asia Museum.

Di Los Angeles pula banyak landmark yang telah mendunia, seperti Walt Disney Concert Hall, Griffith Observatory, Staples Center (markas LA Lakers), Rose Bowl di Pasadena, serta tempat-tempat lainnya. Landmark Los Angeles itulah yang menggambarkan bagaimana Los Angeles kemudian dikenal di seluruh dunia.

Kota Los Angeles yang penuh keragaman juga tercermin dari kulinernya, sehingga selama saya berada di LA, saya merasakan makanan dari 4 benua, yaitu Asia (Korea, China, Jepang, Arab), Eropa (Italia, Perancis), Amerika (Amerika Serikat), Afrika (Mesir). Makanan asal benua Australia saja yang belum saya rasakan. Keunikan masakan dari berbagai benua itu tentu saja menjadi catatan tersendiri yang berkesan dalam hati dan lidah saya yang juga petualang.

Saya melengkapi cerita Lost in Angeles ini dengan informasi tentang tranportasi public di Los Angeles yang terdiri dari Metro Rail Train (MRT), Metro Bus, Taxi dan penyewaan mobil. Untuk taxi, saya tak rekomendasi, karena harganya mahal; apalagi sewa mobil, kecuali terpaksa. Yang paling aman adalah kenal dengan orang Indonesia yang mau berbaik hati meminjamkan mobil selama kita menjelajah di LA. Dan alhamdulillah saya mendapat keberuntungan terakhir itu.

Satu tambahan, yang melengkapi buku ini adalah Lost in Angeles+: perjalanan sehari ke Las Vegas, yang berbarengan dengan kedatangan Manado State University Choir, Paduan Suara Universitas Manado, yang menjadi peraih 2 medali emas dalam World Choir Game, kompetisi paduan suara tingkat dunia yang diikuti oleh lebih dari 60 negara. Sangat membanggakan menempuh perjalanan bersama mereka. Last but not least, tentu saja, menjelajah sebuah kota, tak lengkap kalau tak memberikan informasi tentang souvenir khas dan kejadian-kejadian unik dan lucu yang saya alami selama Lost in Angeles ini.

Tentu saja, bukan hanya apa yang terlihat di mata yang akan saya ceritakan, akan tetapi apa yang terbersit di hati dan terinspirasi di pikiran pun akan saya ulas, supaya memberikan masukan bagi kita di Indonesia, untuk meniru hal-hal baik dan inovatif serta menyikapi hal-hal negative yang ada di LA.

Bagi saya, ada misi khusus terkait dengan YatimOnline yang saya kelola 3 tahun ini, dan Alhamdulillah beberapa pertemuan dengan orang-orang baik, membuat saya makin optimis untuk mengembangkan YatimOnline ke tahap yang lebih baik dan bermanfaat. Demikian juga dari beberapa lokasi yang saya temui, banyak hal yang bisa dipelajari untuk mengembangkan YatimOnline.

Semoga saja tulisan dalam buku Lost-in-Angeles ini menambah pengetahuan dan mungkin beberapa bisa menginspirasi pembaca. Kritik dan sarannya sangat diharapkan untuk membuat tulisan dalam buku ini menjadi lebih baik.

Leave a Reply to Anonymous Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *