Pagi-pagi Saya pergi ke tukang jahit langganan di daerah Kebon Jati. Disana langsung menemui Kang Didin baru saja membuka kios jahitannya, persis di sebelah tukang jualan bensin eceran.
“…. Kumaha damang? Geuning pagi-pagi begini sudah datang? Ada apa?” Tanya Kang Didin sambil membuka gaplok satu persatu (gaplok itu papan untuk menutup kios jahitnya, sekarang sih rolling door).
“Ini, anak saya, Naya, mau ikutan karnaval Kartinian, kudu pake kebaya katanya. Cuman kegedean.. bisa dikecilin nggak?” kata Saya.
“Entar dulu ya, ini baru buka. Tunggu sebentar.” Jawab Kang Didin.
Saya menunggu di kursi plastic yang disediakan di depan kios jahit. Tak berapa lama, Kang Didin sudah menghampiri.
“Mana kabayanya?”
“Ini..” jawab Saya sambil memberikan kebaya merah dengan dalaman merah dan kain batik untuk bawahannya..
“Lucu amat batik dan kabayanya.. mau dikecilin seberapa?”
“Sudah ditandain tuh, tadi sudah diukur…”
Kang Didin dan Saya terlibat pembicaraan teknis soal ukuran.
“Mang.. besok aja diambilnya ya… memang acaranya kapan?”
“Ntar tanggal 22 April ini, pas sehari setelah Hari Kartini.”
Naya bersama teman-teman PAUD-nya memang akan mengadakan karnaval, keliling kampung, untuk memperingati Hari Kartini. Mereka di-Kartini-kan dengan menggunakan pakaian Kartini; fisiknya diserupakan seperti Kartini. Kadang, beberapa anak, dipakaikan baju daerah lain.
Sambil menyerahkan batik kebaya untuk dipermak, Saya jadi mikir, bahwa sebenarnya, Kartini itu dikenal orang dan bahkan dikenal dunia, bukan karena pakaian Jawa-nya, tapi justru karena keindahan tulisannya yang dikirimkan kepada sahabatnya di Belanda. Pikirannya menembus ruang dan waktu; abadi hingga saat ini.
Ada yang salah kalau memperingati Hari Kartini hanya dengan memakaikan kostum Kartini. Ada yang salah jika Hari Kartini hanya dengan berkeliling sambil menyerupai Kartini dalam kostumnya.
Saya berpikir, mungkin saja, suatu saat nanti ketika Naya, sudah menulis, biarlah dia meniru Kartini bukan dari pakaiannya, tapi Kartini yang bisa mengubah dunia dengan tulisannya…
“Heh… geuning bengong kitu … mikiran naon..?” Kang Didin menepuk pundak Saya..
“Ngga apa-apa.. ntar besok saya ambil batik kebaya-nya. Saya mau beli pensil dan buku tulis dulu. Mau ngajarin Naya nulis..”
Saya bergegas memacu motor. Di pikirannya muncul ide baru untuk memperingati Hari Kartini. Tentu dengan syarat, Naya, puterinya tercinta sudah bisa menulis, dan siapa tahu, bisa diajarkan membuat blog dan menuliskan rasa dan pikirnya ke seluruh dunia.