Senin, 7 Agustus, sehari setelah ulang tahun saya yang ke-21, berkumpul orang-orang di depan Aula Kantor Pusat (AKP), melihat pengumuman kelulusan dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Beberapa orang memberikan selamat kepada saya. “Selamat ulang tahun”, “Panjang umur ya…” Saya dengan biasa menyambut mereka. Mengucapkan terima kasih. Fokus saya tertuju pada pengumuman di tembok gedung AKP.

Melihat papan pengumuman dan mengurut no. registrasi mahasiswa, saya berhenti pada G.290071—itu nomor mahasiswa saya—Program Studi Ilmu Komputer, jari saya bergerak ke kanan dan menemukan kata-kata:

G. 290071 – KELUAR ….!

DROP OUT… ya DROP OUT.

Beneran, saya DROP OUT.

Dunia rasanya gelap, perut mual, saya limbung. Membaca sekali lagi, dan kata-kata KELUAR masih tertulis disitu. Saya DROP OUT.

Seumur hidup saya, inilah hadiah ulang tahun yang paling mengesankan.

Segera saya datangi mantan rektor, kebetulan saya kenal, siapa tahu bisa mendapat saran dan sedikit bantuan. Apa yang beliau bilang?

“Orang-orang seperti kamu tidak pantas kuliah di kampus ini!”

Saya makin limbung.

Saya datangi Dosen Bahasa Pemrograman yang memberikan nilai F, dan membuat nilai indeks prestasi kumulatif saya menjadi 1.98, hanya kurang 0.02 untuk selamat dan tidak drop out. Apa yang dia bilang?

“Saya juga dulu drop out waktu kuliah di Inggris…” katanya, datar.

Saya bingung. Apakah masalah pribadi bisa di copy paste dan ditimpakan kepada orang lain?

Saya datangi Ketua Jurusan. Saya complain karena teman saya yang kakinya lumpuh, menggunakan motor beroda tiga kalau ke kampus dan menggunakan tongkat, ternyata ‘selamat’, dan mendapatkan dispensasi untuk tetap kuliah, tidak jadi drop out.

Ketua Jurusan hanya bilang (ini yang lebih menyakitkan saya),

“Teman kamu itu cacat. Kamu mau disamakan dengan orang cacat? Sebenarnya kampus ini tidak layak menerima mahasiswa cacat seperti dia…” katanya, tanpa melihat saya, sibuk membereskan tumpukan kertas di mejanya.

Saya marah!

Marah semarah-marahnya, bagaimana mungkin seorang pendidik mengucapkan kata-kata menyakitkan seperti itu? Apa yang ada dalam pikirannya, sehingga seorang pengajar bisa mengeluarkan kata-kata yang kurang ajar seperti itu?

Sejak itu, saya mengubah mindset saya, bukan saya yang tidak layak kuliah di kampus ini, tapi kampus ini tidak layak menjadi tempat saya menuntut ilmu; dengan pola pikir pengajar yang menganggap orang-orang yang memiliki handicap, baik fisik maupun kepintaran, dikatakan tidak semestinya ada di kampus ini.

Sejak itu saya tidak lagi berusaha untuk menjadi mahasiswa kampus ini. Saya tidak mau memaksakan diri meminta rekomendasi ini dan itu, agar selamat, seperti yang dilakukan oleh beberapa orang teman saya yang memiliki sanak saudara yang menjadi pejabat disana.

Saya pulang.

Saya bersimpuh di pangkuan orang tua, menangis sejadi-jadinya. Menangis karena telah melukai dan membuat kecewa hati orang tua yang mengerahkan segenap tenaga untuk membiayai kuliah saya. Dari 7 anaknya, saya adalah anak ke-dua yang bisa melanjutkan pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi, dan saya menghancurkannya.

Besoknya saya mendatangi Dekan, dan meminta untuk diberikan transkrip agar bisa melanjutkan studi di perguruan tingggi lain. Dengan mudah semuanya diubah. Dalam surat keterangan tertanggal 14 Agustus, pada transkrip, nilai saya berubah, dari 1.98 menjadi 2.30. Tidak ada nilai D apalagi F. Hebat ini kampus.

Saking gugup dan sedihnya saya, ketika saya menangis, Pak Dekan—yang dulu menyarankan saya masuk ke jurusan Ilmu Komputer dan membangun organisasi kemahasiswaannya—menunjuk sesuatu untuk mengurangi tangis saya. Saya malah mengambil gelas untuk diminum. Ternyata itu gelasnya. Sebenarnya dia menyuruh saya mengambil tisu untuk menyeka air mata. Orang sedih bisa ge-er juga ternyata.

Dua minggu saya mencari kampus, membawa surat keterangan dan dengan uang seadanya. Saya naik kereta ke Jogja, menuju kampus UGM dan INSTIPER. Hasilnya nihil. Saya sebenarnya lelah sekali. Mata saya nanar memandang ke depan. Bahkan ketika naik kereta menuju Jogja, seorang ibu yang duduk di sebelah saya—sepertinya masih ada hubungan dengan mama Loren—bertanya kepada saya:

“Nak.. lagi ada masalah berat ya….? kok matanya kosong begitu? Pandangannya jauh amat?” kata ibu itu.

“Iya bu, tapi masalahanya mau saya telen aja, walaupun ngga ketelen-telen. Gede banget soalnya” Jawab saya, sekenanya. Ibu itu komat-kamit, mudah-mudahan mendoakan saya, agar memiliki tenggorokan yang lebih besar.

Saya melanjutkan perjalanan ke Solo menuju UNS, kemudian ke Malang menuju UNIBRAW, dan ke Bandung menuju IKIP (sekarang UPI—Universitas Padahal mah IKIP singkatannya kalau kata teman saya). Semuanya dalam rangka memperoleh jaket almamater baru; status mahasiswa, yang saat itu saya anggap satu-satunya obat untuk menyembuhkan luka. Di kemudian hari saya baru menyadari bahwa bukan jaket almamater yang membuat seseorang berharga.

Pulang dari Bandung, sore hari saya ke tempat kost kawan saya di Cidangiang. Saya ambruk! Jatuh! Muntah darah! Setengah liter mungkin darahnya, merah kehitaman, kental! Darah saya berceceran di lantai kostnya. Teman saya mengontak temannya yang lain, yang memiliki mobil, untuk mengantarkan saya ke rumah. Terima kasih keduanya. You’re truely my best friend.

Sampai di rumah, ibu saya panik dan segera membawa saya ke RSTP (Rumah Sakit Tubercolosa dan Paru-paru) di Cisarua. Saya tiba di RSTP sekitar jam 9 malam. Dengan ranjang beroda, saya menuju kamar di Ruang Anggrek II. Ada 2 tempat tidur disana. Samar-samar saya dengar ibu saya bertanya ke susternya,

“Suster.. di kamar ini anak saya sendirian?”Kata Ibu saya.

“Iya Bu… pasiennya baru aja meninggal tadi sore, paru-paru basah” kata suster tadi, datar.

Saya divonis menderita penyakit TBC. Berbeda penyakitnya dengan pasien yang baru meninggal tadi sore. Masih ada harapan.

Bergiliran teman saya menjenguk. Teman saya, yang anaknya mantan rektor, yang bilang orang kaya saya ngga pantes di kampus ini, malah becanda,

“Temen gua, yang penyakitnya kaya lu, sekarang udah meninggal!” Katanya, enteng.

Kebayang khan, anaknya mantan rektor itu—yang berkontribusi terhadap per-DO-an, adalah teman sebangku saya waktu SMA, malah becanda. Tapi entah ada energi darimana, hati saya makin meluas. Rasanya mudah saja menelan becandaan seperti itu.

Teman yang lain ada juga yang membawa tisu plus kotaknya, biar ngga nangis mulu katanya…Ada juga yang membawa masalah, ini dari aktivis karbitan di MIPA, minta dijelaskan tentang bagan organisasi di FMIPA (karena saya dulu aktif banget di kampus). Saya jelaskan di dinding kamar, dengan tangan kiri, karena tangan kanan saya diinfus.

Teman-teman saya kebanyakan bertanya dua hal, apa penyakitnya dan kenapa DO? Pertanyaan pertama mudah jawabnya, yang kedua rasanya sulit dan rada sakit.

Tiga hari saya disana, datang pasien baru, seorang tukang ojek, yang juga terkena penyakit TBC. Dia jarang dijenguk keluarganya, jauh katanya, dari Depok, ngga ada uang. Dia rada ngiri melihat saya kedatangan teman yang menjenguk. Saya minta ke teman saya untuk mampir, sekedar menyapa dan mendoakan cepat sembuh kepada teman pasien saya itu; anggaplah teman-teman saya menjenguk dia juga.

Selama 17 hari saya dirawat di RSTP, saya buat buku tamu untuk teman yang menjenguk. Total Ada 114 temen yang menjenguk saya. Teman yang ke-100—Shanty namanya—adik kelas saya yang masih kuliah di kampus yang sama, saya beri hadiah cokelat silver queen.

Begitu pulang, saya menempati kamar atas. Kasur, gelas dan segala macam yang bersentuhan saya, biasanya direndam air hangat atau dijemur. Saya juga mengenakan masker, supaya tidak menular katanya. Saya mendapat hadiah sebuah buku, Seven Habbits of Highly Effective People karya Stephen R. Covey. Saya terperangah, saya tergugah, luka saya perlahan sembuh. Sakit fisik belum sembuh, tapi kondisi mental berangsur pulih.

Bukan kondisi yang menentukan kualitas hidup seseorang, melainkan bagaimana dia menghadapi kondisi tersebut. Itu kata Stephen R. Covey, penulisnya. Saya baca sampai 4 kali buku itu, dan sejak itu saya bertekad untuk mengubah hidup saya dan menyatakan bahwa harga diri saya bukan diukur dari indeks prestasi.

Saya baca buku lain yang menggugah, Anthony Robbins, Norman Vincent Peale, dan lainnya. Ada yang menggelegak dalam dada saya untuk dikeluarkan. Kemarahan yang tadinya membuncah dalam dada, perlahan menjadi energi yang menggerakan tangan dan pikiran saya untuk mengubah kemarahan itu terangkai menjadi kata-kata. Rasanya hebat sekali para penulis itu, bisa menyentuh saya. Mereka ada di benua lain, menyentuh saya yang tinggal di kaki Gunung Salak.

Bertahun-tahun saya menjadi sangat gila membaca, melahap pemikiran orang hebat. Saya pun mulai suka mendengarkan lagu yang syairnya bagus, salah satunya lagu Bermimpi-nya Base Jam, yang vokalisnya—Adon, mahasiswa—dulu ternyata juga pernah ditolak ketika ingin meramaikan acara pekan seni di kampus; juga lagu Another Day in Paradise-nya Phill Collins.

Buku seperti obat bagi saya. Saya lega, ketika setiap emosi, kemarahan, kegalauan yang saya rasakan akhirnya terdefinisi menjadi kata, tertuang menjadi kalimat, terangkai menjadi paragraf dan terakumulasi menjadi sebuah pemikiran. Saya kumpulkan terus pemikiran-pemikiran tersebut untuk disusun menjadi buku.

Saya mengajukan pemikiran saya yang sudah menjadi buku ke penerbit nasional. Saya ditolak mentah-mentah, karena bahasa yang saya gunakan adalah bahasa gaul, dan target buku saya tidak potensial. Remaja bukan potential buyer bahasa pinternya. Saya ingat, waktu itu bahasa yang ngetop adalah so what gitu lho..! dan lha yauw… Saya ditolak, dan kalau masih berminat menerbitkan, dipersilahkan kembali mengajukan setelah perbaikan disana-sini.

Setahun kemudian saya mengajukan buku kembali, dengan segala macam perbaikan. Buku pertama saya akhirnya diterima untuk diterbitkan.

Sabtu, 21 September di Koran Kompas, buku pertama saya, judulnya Menjadi Cerdas Tanpa Batas yang berisi pengalaman saya kuliah dan drop out, tercantum disana, menjadi buku laris no.2, di bawah Undang-Undang Dasar dan GBHN (yang ini biasanya diwajibkan, makanya laris). Saya sujud syukur. Ternyata kemarahan yang begitu mendominasi hati saya, bertransformasi menjadi sebuah buku yang diterima dengan sangat baik oleh masyarakat.

Yang lebih menyenangkan, buku tersebut dilaunching di kampus yang telah menganggap saya mati, tidak pantas dan tidak layak untuk melanjutkan studi. Sangat menyenangkan dan memuaskan ketika saya bisa sharing tentang bagaimana menjadi cerdas di kampus yang menganggap saya tidak cerdas.

Walaupun saya merasa tidak terlalu pintar, saya yakin bahwa semua orang pada dasarnya pintar. Cara mengajar pendidiknya yang kemudian mengklasifikasikan satu orang siswa lebih bodoh dari siswa yang lain.

Memang pintar bisa dibatasi oleh kampus, tapi cerdas adalah pilihan. Saya yakin sekali.

One thought on “Harga Diri dan Indeks Prestasi

  1. “Teman kamu itu cacat. Kamu mau disamakan dengan orang cacat? Sebenarnya kampus ini tidak layak menerima mahasiswa cacat seperti dia…” katanya, tanpa melihat saya, sibuk membereskan tumpukan kertas di mejanya.

    Maaf mas saya sedikit klarifikasi nih mas
    kalau ketua jurusan mas pernah menyebutkan seperti ini. mending mas saranin aja tuh ketua jurus untuk mundur dari jabatannya. Pusing saya masih ada aja orang yang dodol masalah pendidikan Inklusi…….

    Sukses selalu mas
    Hidup ini memang akan semakin bermakna bila mana kita tetap ikhlas kepadanya

  2. Hehehe.. beneran kok dia ngomong kaya gitu. Emang pinter banget kok orangnya.. ngajarin mata kuliah yang kalau kita bingung, kayanya sukses ngajarnya. Hehehe. Tapi, saya berteman kok dengan anak-anaknya. Dia pikir saya hancur, saat itu iya, tapi khan Allah sayang sama orang yang berdo’a terus, ya nggak?

  3. Njum.. masih inget lah ama lu… ujung tombak senat kalau mau demo…hehehehe.
    Winmit.. emang nilai terendah itu F.. dulu artinya Failure… sekarang F itu artinya Feedback buat saya….

  4. Empat tahun yg lalu waktu sy tingkat satu, sy ketemu mas baban di acara masa perkenalan fakultasnya fakultas sy.
    Waktu itu mas baban enteng aja cerita soal DO-nya di depan kita2, sekarang sy baru tau kronologis detilnya kaya gitu.

    Makasih mas, sy terinspirasi bgt wkt itu.
    Salut lah pokoknya buat mas baban…

  5. Waw sungguh kisah yang mengharukan,sebelum menjadi seorang penulis blog nasional.kami dari anak Al-Hikmah 02 mengucapkan banyak terima kasih atas pelatihan yang kemarin ,Insya Allah Dalam waktu dekat kami akan coba melaksanakan tugas yang telah kita sepakati bersama,..membuat buku siirah Rosul..kalau ngga jadi brarti mesti ke sini lagi hehehhhee

  6. Terimakasih telah membuat saya menangis dengan kisah ini 🙁
    Kisah ini memberi saya motivasi untuk terus menulis, saya yakin saya bisa menjadi seperti kak baban. 🙂
    Terimakasih juga untuk orolan kemarin tentang termehek-mehek . . . hehehehe
    Nizar (M2Net Malhikdua)

  7. bikin greget critanya ..kayanya aku mulai erfikir tuk memukukan Diaryku yang telah punya 3 bendel buku…
    thanks buat motivasi yang kemarin mas ..jangan lupa kunjungi blog ku dan cek tulisanku biar tambah rapi..

    dari santri Al-Hikmah 2

  8. “Bukan kondisi yang menentukan kualitas hidup seseorang, melainkan bagaimana dia menghadapi kondisi tersebut.”
    Sangat inspiratif mas, ,
    thanks banget kemaren dah mau singgah di malhikdua, makasih jg atas motivasi menulis nya…

  9. Saya dua tahun di bawah kang Baban waktu SMA. Guru fisika saya, Pak Naryoko, pernah memberi contoh tentang keteladanan dan kepemimpinan untuk memotivasi kita dengan menyebutkan nama kang Baban. Yang waktu itu ketua . . . di perguruan tinggi . . . Sempet kaget waktu denger kang Baban drop out waktu itu. Cerita yang sangat inspiratif.

    Pak Naryoko guru favorit saya.. ya itulah garis tangan yang Allah tentukan. Ada hikmah yg harus dicari dari setiap peristiwa…

  10. menurut saya indeks prestasi tidak begitu menunjang seseorang untuk berhasil dikarenakan justru orang2 yang tidak mampu sekolah mempunyai semangat 10x dr pada orang yang sekolah dikarenakan mereka punya tekad yang nulat untuk menggapai mimpi2 mereka

  11. Luar biasa, saya ingin sekali membaca buku-buku seperti itu kang, namun kadang nggak betah bacanya, setelah tulisan ini saya baca maka saya akan berfikir kembali untuk membacanya, usaha kang baban sangat menjadi inspirasi bagi saya, terima kasih kang…

Leave a Reply to Nurul Faizah Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *