Malam ini istimewa sekali, karena dinner bersama orang-orang yang terkoneksi dengan pembentukan karakter Obama ketika remaja menuju dewasa.

Eric Kusunoki, pria rendah hati yang hampir seumur hidupnya tinggal di Hawaii; adalah home room teachernya Obama, semacam wali kelas; tidak mengajar, akan tetapi setiap pagi, sebelum masuk kelas, Obama pasti menyediakan waktu 15 menit untuk membahas apa pun yang perlu dibahas.

Alan Lum, teman sekelas Obama, kini mengabdi sebagai pengajar di almamaternya, Punahou School; Pria berbadan besar yang juga teman Obama dalam tim basket dan memenangkan kejuaraan di tahun 1976.

Pal Eldregde, pria berbadan besar, yang pelatih baseball dan basket ball, dimana Obama bergabung.

Ketiga orang yang menangis ketika Obama diinagurasi sebagai presiden pada 20 Januari 2009. Mereka melihat orang yang sama, teman yang sama, murid yang sama. Tak berubah; hanya, jika dulu mereka memanggilnya Barack O’Bomber, kini mereka memanggilnya Mr. President; selain itu, tak ada yang berubah.

Obrolan yang penuh dengan kekaguman terhadap Obama itu pun mengalir lancar. Saya tergelitik untuk menanyakan apakah Obama pernah bercita-cita menjadi Presiden?

Eric, Alan dan Pal, serempak menjawab TIDAK PERNAH…

Tak pernah Obama mengatakan keinginannya untuk menjadi presiden; akan tetapi ketiga tamu makan malam yang baik hati itu mengatakan, Obama akan sukses ketika menjadi apa pun yang dia jalani; bahkan ketika menjadi Presiden Amerika Serikat.

Baik sekali Eric Kusunoki menggambarkan Obama sebagai remaja yang pandai menyimpan rapi perasaannya, tak mengumbar kesedihannya, akan tetapi, sebaliknya menyapa gurunya dengan tulus setiap pagi dan membantu siswa lainnya; kualitas yang dilihat Eric, juga ada pada ibunya Obama.

Alan menggambarkan Obama sebagai teman yang tak berubah; tetap seperti dulu; bahkan ketika bermain basket bersama, saat itu Obama menjadi senator; Alan dan teman-temannya masih dipanggil dengan nickname mereka. Sama saja rasanya seperti dulu, Alan dan teman-teman main basketnya bermain dimana-mana. Masih terasa kehangatannya.

Pal menggambarkan Obama sebagai olahragawan yang memiliki sportivitas; dan tentu saja sportivitas itu terbawa dalam kepemimpinnya. Sportivitas dalam politik memang diperlukan; walaupun politik di beberapa sisi tak selalu terkait dengan sportivitas.

Alan, Eric dan Pal berbagi cerita, bagaimana mereka disentuh oleh karakter Obama; bagaimana hobinya membaca, bahkan membuat Alan dan teman main basketnya harus memaksa untuk bermain basket; bagaimana kedisiplinan Obama membuat apresiasi gurunya juga mengapresiasi Obama.

Eric dan Pal agak kaget ketika membaca buku “Dream From My Father”; karena betapa pergolakan bathin terjadi pada diri Obama ketika remaja, akan tetapi ditutup rapat dengan sangat baik oleh Obama; dan menampilkan karakter yang bisa membuat orang-orang sekitarnya merasa nyaman.

Ketiganya bangga pernah menjadi bagian dari hidup Obama. Mereka tak kaget ketika Obama menjadi presiden; karena yakin, dengan kecerdasan, ketulusan dan keteguhannya mengejar mimpi; Obama bisa sukses menjadi apa pun yang diimpikannya.

Salam dari Waikiki, Honolulu, Hawaii.. 23.50.

Aloha!

Follow: Twitter @babansarbana @usembassyjkt

Facebook: Baban Sarbana US Embassy Jakarta

One thought on “Di SMA, Obama Tak Pernah Bercita-cita Jadi Presiden…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *