Suami isteri itu memiliki 3 anak. Yang sulung, kelas 2 SMA, tak lagi bisa berangkat sekolah, karena tak ada ongkos sehari-hari yang satu kali jalan Rp 12.000; yang tengah, kelas 1 SMP, bersekolah dengan berjalan kaki; yang bungsu, masih usia balita, tak sempat masuk PAUD.

Petaka datang ketika suami isteri itu meminjam uang kepada seorang rentenir, 120 juta rupiah, untuk membangun usaha. Sang isteri yang berbisnis arisan lebaran, memiliki klien 1000 orang di kampungnya. Uang itu tadinya untuk membuka warung plus melancarkan bisnis arisan lebarannya.

Suaminya lebih banyak berbisnis ke gaya hidup, dengan memilih berbisnis bunga gelombang cinta. Lumayan besar modalnya, hampir sepertiga dari pinjaman itu. Pernah suatu ketika, seluruh tanaman di tempat itu ditawar seharga 60 juta, tapi tak diberikan, karena menunggu tawaran lebih besar. Suatu hari, seluruh tanamannya dicuri orang, ditinggal potnya saja, tanamannya dicabut. Bersedihlah keluarga itu, hilanglah uang puluhan juta rupiah.

Tak kapok, suaminya berbisnis tanaman lagi, dengan uang pinjaman yang belum lunas. Dicuri lagi. Rugi lagi.

Suaminya juga mengikuti MLM yang mengejar poin. Semua saudaranya diajak. Tak cocok dengan bisnisnya, karena produk MLM-nya ditaruh di warung yang di sekelilingnya memiliki daya beli yang rendah dan bukan konsumen produk MLM tersebut. Modal banyak, akhirnya tak kembali.

Bagaimana dengan isterinya? Bisnis arisan lebarannya, yang setiap hari berkeliling kampung, menagih uang dari 1000 sampai puluhan ribu, awalnya lancar; akan tetapi ketika melibatkan para penarik arisan, mulailah beberapa melakukan kecurangan. Arisan lebaran itu pun jebol. Keuntungan di depan mata pun sirna. Isterinya harus nombok, dan dilibatkanlah saudaranya yang kebetulan karyawan di sebuah perusahaan untuk meminjam uang ke bank. Tak tanggung-tanggung, pinjam uang hingga 50 juta rupiah.

Hutangnya kepada rentenir itu belum lunas. Kini bunga berbunganya sudah melebihi hutang pokoknya. Usahanya lesu. Tanah warisan milik orang tuanya yang masih hidup, diincar oleh rentenir untuk dikuasai paksa. Padahal tanah warisan itu untuk seluruh anggota keluarga ayahnya, alias 9 orang adik dan kakaknya. Ayahnya tak bisa menerima. Tak berhutang tapi harus bertanggung jawab.

Kini, isterinya terbaring sakit, tak bisa bekerja. Suaminya, hanya wara wiri karena tak bisa bekerja sekeras isterinya, tak biasa katanya. Warungnya sudah menjadi milik orang lain yang dipinjami uang, tapi tak bisa dibayar oleh suami isteri itu. Hutangnya kepada saudara-saudaranya, total lebih dari 50 juta pun tak bisa dilunasi. Hutang ke bank, dilunasi oleh saudaranya.

Hutang ke rentenirnya pun tak bisa dilunasi. Tak punya harta lagi untuk membayar. Hutang dari rentenir bermulit manis itu yang mencekik leher suami isteri yang tak berhitung ketika berhutang. ‘Kebodohan’ suami isteri itu jadi darah untuk menghidupi rentenir yang sudah ke Rumah Allah itu. Pantas saja julukannya lintah darat.

Keluarganya tak bisa lagi membantu. Pasrah saja, karena segala usaha sudah dikerahkan. Suami isteri itu kini seperti hidup tapi sesungguhnya sudah tak punya semangat. Seperti ada gunung yang besar menghalangi.

Ya Allah, semoga Kau berikan solusi bagi mereka, dari arah yang tak terduga-duga.

One thought on “Berhitung Sebelum Berhutang

  1. semoga kita bisa mengambil pelajaran dari postingan ini.
    meskipun dan berwirausaha, kita harus segera action, tapi perhitungan yg matang dan tidak serakah harus menjadi perhatian juga.

Leave a Reply to nanangmedia Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *